Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita di Balik Lagu Klasik "Hari Lebaran", Kocak dan Sarat Kritik

Kompas.com - 11/05/2021, 21:00 WIB
Rizal Setyo Nugroho

Penulis

KOMPAS.com - Menyambut Idul Fitri, lagu-lagu bertema Lebaran mulai terdengar di berbagai tempat. Termasuk di timeline media sosial, radio, dan televisi.

Menyebut soal lagu Lebaran, ada salah satu lagu yang tidak pernah absen saat Lebaran datang, yaitu lagu "Hari Lebaran" karya maestro Ismail Marzuki.

Baca juga: Mengenang Ismail Marzuki, Maestro Musik Indonesia yang Meninggal di Pangkuan Sang Istri...

Lagu ini bahkan sampai diaransemen oleh sejumlah seniman, termasuk yang lebih fresh oleh Tasya Kamila, Deredia, dan Sentimental Moods.

Lagu orisinal ini sendiri direkam di studio RRI Jakarta tahun 1954 dan dinyanyikan pertama kali oleh Didi, nama samaran dari Suyoso Karsono.

Melalui lagu ini pula, Ismail Marzuki mengenalkan frasa "Selamat Idul Fitri, Minal Aidzin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin" yang masih populer sampai sekarang.

Baca juga: Resep Opor Ayam, Semur Daging, Sambal Goreng, dan Rendang untuk Sajian Lebaran

Perasaan gembira

Lagu ini dibuka dengan lirik perasaan riang gembira menyambut hari Lebaran.

Setelah sebulan berpuasa dan berzakat fitrah, waktunya bersuka ria dan bermaaf-maafan.

Tidak lupa mendoakan rakyat Indonesia makmur sejahtera dan mengucapkan selamat kepada para pemimpin.

Berikut ini liriknya: 

Setelah berpuasa satu bulan lamanya
Berzakat fitrah menurut perintah agama
Kini kita beridul fitri berbahagia
Mari kita berlebaran bersuka gembira

Berjabatan tangan sambil bermaaf-maafan
Hilang dendam habis marah di hari lebaran

Reff:
Minal aidin wal faidzin
Maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin
Rakyatnya makmur terjamin

Merekam suasana Lebaran

Bait berikutnya lagu Hari Lebaran adalah memotret suasana Lebaran di tahun 1950-an.

Terutama cara merayakan Lebaran bagi warga desa. Seperti memakai baju baru, naik terem ke kota dan berjalan-jalan sampai kaki lecet dan sandal harus dilepas.

Ismail juga mencatat kondisi ekonomis saat itu dengan menyebut hidup agar prihatin, berharap cai uang tidak susah. Serta kebiasaan menikahkan di bulan Syawal.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com