Pada masa itu, masyarakat di Indonesia tidak memiliki akses pendidikan.
Pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak keturunan Belanda dan kaum priyayi.
Ketimpangan ini mendorong Ki Hajar Dewantara untuk terus mengkritik kebijakan pemerintah kolonial.
Baca juga: Profil Presiden Ketiga RI: Bacharuddin Jusuf Habibie
Pada puncaknya, ia menyampaikan kritikan kepada pemerintah kolonial melalui tulisan berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk satu juga).
Kedua tulisannya membuat pemerintah Hindia Belanda geram. Ki Hajar Dewantara ditangkap dan dibuang ke Pulau Bangka.
Akan tetapi, Ki Hajar Dewantara meminta agar dirinya dibuang ke Belanda saja dan keinginannya itu dikabulkan.
Baca juga: Profil Presiden Kedua RI: Soeharto
Selama menjalani masa pembuangan di Belanda, dia banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Sampai akhirnya, pada 1918, Ki Hajar Dewantara diperbolehkan kembali ke Indonesia.
Sekembalinya ke tanah air, dia mendirikan National Onderwijs Institur Taman Siswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922.
Pendirian Taman Siswa ini ditujukan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari pembodohan dan penindasan.
Baca juga: Profil Presiden Pertama RI: Soekarno