Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenang Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Bangsa

KOMPAS.com - Hari ini, Minggu (2/5/2021) merupakan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Peringatan ini ditetapkan berdasarkan hari kelahiran Bapak Pendidikan Bangsa, Ki Hajar Dewantara.

Dia adalah pelopor pendidikan bangsa, sejak Indonesia masih berada di bawah jajahan kolonial.

Kata-kata Ki Hadjar Dewantara yang paling dikenang yaitu "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani".

Kata-kata itu pun kini menjadi semboyan pendidikan Indonesia.

Lantas, bagaimana kiprah dan perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan?

Pernah dipecat dari kampus

Ki Hajar Dewantara bernama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta.

Melansir buku Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara (2013) oleh Bartolomeus Sambo, Ki Hajar Dewantara lahir dari keluarga bangsawan.

Darah bangsawan membuatnya bisa belajar di Europeesche Lagere School atau Sekolah Dasar Belanda selama 7 tahun di Kampung Bintaran Yogyakarta.

Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara melanjutkan sekolahnya di Kweekschool (sekolah guru) di Yogyakarta.

Dia pun mendapat kesempatan untuk menempuh sekolah dokter di Jawa, di School Fit Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA).

Ki Hajar Dewantara menjadi mahasiswa di STOVIA mulai 1905-1910.

Dia sempat jatuh sakit selama empat bulan dan beasiswanya terpaksa dicabut. Akan tetapi, pencabutan beasiswa ini bukan semata karena dia sakit.

Tak lama setelahnya, Ki Hajar Dewantara dikeluarkan dari STOVIA karena ada masalah politik.

Dia dianggap menjadi pemicu timbulnya pemberontakan terhadap Pemerintah Hindia-Belanda melalui sajak yang ia bacakan.

Sajak tersebut menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.

Kerja sebagai wartawan

Dikeluarkan dari sekolah tak membuatnya putus asa. Ki Hajar Dewantara menambah banyak pengalamannya dengan bekerja sebagai wartawan.

Dia pun menjadi salah satu wartawan yang dikenal dengan tulisannya yang komunikatif, tajam, serta mampu menumbuhkan semangat antipenindasan.

Dia menulis di beberapa surat kabar, seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.

Selain bekerja, Ki Hajar Dewantara juga berserikat.

Pada 25 Desember 1912, dia mendirikan organisasi pergerakan nasional yang bernama Indische Partij.

Bersama dua rekannya, Dr. E.F.E. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo, ketiga orang ini pun dijuluki sebagai tiga serangkai.


Mendirikan Taman Siswa

Pada masa itu, masyarakat di Indonesia tidak memiliki akses pendidikan.

Pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak keturunan Belanda dan kaum priyayi.

Ketimpangan ini mendorong Ki Hajar Dewantara untuk terus mengkritik kebijakan pemerintah kolonial.

Pada puncaknya, ia menyampaikan kritikan kepada pemerintah kolonial melalui tulisan berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk satu juga).

Kedua tulisannya membuat pemerintah Hindia Belanda geram. Ki Hajar Dewantara ditangkap dan dibuang ke Pulau Bangka.

Akan tetapi, Ki Hajar Dewantara meminta agar dirinya dibuang ke Belanda saja dan keinginannya itu dikabulkan.

Selama menjalani masa pembuangan di Belanda, dia banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Sampai akhirnya, pada 1918, Ki Hajar Dewantara diperbolehkan kembali ke Indonesia.

Sekembalinya ke tanah air, dia mendirikan National Onderwijs Institur Taman Siswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922.

Pendirian Taman Siswa ini ditujukan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari pembodohan dan penindasan.


Makna semboyan

Ki Hajar Dewantara mengenalkan tiga semboyan yang jadi pegangan bagi pendidikan di Indonesia.

Semboyan tersebut dalam bahasa Jawa, yang berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.

Arti dari semboyan tersebut adalah:

1. Ing Ngarsa Sung Tulada

Ing berarti “di”, ngarsa berarti “depan”, sung berarti “jadi”, dan tuladha berarti “contoh” atau “panutan”.

Maknanya, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik.

2. Ing Madya Mangun Karsa

Ing berarti “di”, madya berarti “tengah”, mangun berarti “membangun”, dan karsa berarti “semangat” atau “niat”.

Maknanya, di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide untuk berkarya.

3. Tut Wuri Handayani

Tut wuri berarti “di belakang” atau mengikuti dari belakang dan handayani berarti “memberikan semangat”.

Maknyanya, guru harus berada di belakang untuk bisa memberikan dorongan, arahan dan semangat.


Akhir hidup

Setelah merdeka, Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama di Indonesia.

Pada 1957, dia mendapat gelar Covtor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada (UGM).

Namun, tak ada yang bisa melawan waktu. Di usia yang ke 70 tahun, Ki Hajar Dewantara meninggal dunia. Tepatnya pada 26 April 1959.

Dia dimakamkan di Taman Wijaya Brata, di kota kelahirannya, Yogyakarta.

Sebagai penghormatan atas jasa dan perjuangan Ki Hajar Dewantara di dunia pendidikan, pemerintah memberikan julukan "Bapak Pendidikan".

Pada 16 Desember 1959, melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, pemerintah menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/02/134400665/mengenang-ki-hajar-dewantara-bapak-pendidikan-bangsa

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke