KOMPAS.com - Denmark menjadi negara pertama di dunia yang menghentikan penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca secara total.
Keputusan ini diyakini berkaitan dengan adanya kasus pembekuan darah serius.
Mengutip Reuters, Rabu (14/4/2021), keputusan itu akan menunda kesimpulan skema vaksinasi Denmark yang dijadwalkan hingga awal Agustus.
Baca juga: Saat Inggris Batasi Penggunaan Vaksin AstraZeneca Hanya untuk Usia 30 Tahun ke Atas
Kepala Badan Kesehatan Denmark Soren Brostrom mengatakan, hasil penyelidikan terhadap pembekuan darah terkait AstraZeneca menunjukkan efek samping yang nyata dan serius.
"Karena itu kami memilih untuk melanjutkan program vaksinasi untuk semua kelompok sasaran tanpa vaksin ini," kata dia.
AstraZeneca pun menghormati keputusan Denmark dan berjanji akan terus memberikan data untuk mengonfirmasikan keputusan di masa depan.
"Pelaksanaan dan peluncuran program vaksin adalah masalah yang harus diputuskan oleh masing-masing negara, berdasarkan kondisi lokal," kata AstraZeneca dalam sebuah pernyataan.
Pengawas obat Uni Eropa pada pekan lalu menyatakan telah menemukan kemungkinan hubungan antara vaksin AstraZeneca dan trombosis sinus vena serebral (CVST), pembekuan darah otak.
Disebutkan bahwa risiko kematian akibat Covid-19 jauh lebih besar daripada risiko kematian akibat efek samping yang jarang terjadi.
Baca juga: Vaksin AstraZeneca Akan Beri Tanda Kemungkinan Efek Samping Pembekuan Darah pada Label
Akan tetapi, Uni Eropa menyerahkan kepada masing-masing negara bagian untuk membuat penilaian risiko sendiri dan memutuskan bagaimana cara memberikan vaksin.
Banyak negara di Eropa dan negara lain melanjutkan kembali vaksinasi dengan AstraZeneca.
Beberapa di antaranya membatasi pada kelompok usia tertentu, yaitu mereka yang berusia di atas 50 atau 60 tahun.
Brostrom mengatakan, studi bersama berdasarkan data kesehatan Denmark dan Norwegia memperkirakan bahwa satu dari 40.000 orang yang divaksinasi dengan suntikan AstraZeneca dapat mengalami komplikasi serius ini.
Namun, tak ada kesimpulan secara pasti terkait usia dan jenis kelamin.
Ia mengatakan, kelompok sasaran vaksinasi di masa mendatang memiliki risiko yang lebih rendah.