Ada sejumlah alasan mengapa hal itu terjadi.
Pertama adalah jarak.
Di media sosial, netizen dan pihak yang mereka komentari berada dalam jarak tertentu yang hanya bisa dijangkau melalui media atau alat, tidak secara langsung.
"Ini membuat kita pun lebih punya sedikit konsekuensinya dibandingkan dengan kalau kita bicara langsung. Kalau kita bicara langsung tentu selalu ada potensi lawan bicara kita ini marah atau mengeluarkan emosi dan lain sebagainya. Kalau lewat medium atau lewat device tentu lebih terlindung kita," kata Enda.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Body Shaming yang Sempat Ramai di Media Sosial...
Alasan lain, di media sosial tidak ada reaksi secara fisik atau emosi dari pihak yang dikenai aksi yang dapat dilihat langsung oleh netizen yang dalam hal ini menjadi pelaku penyerangan, penghujatan, dan sebagainya.
"Konsekuensi fisik mungkin orangnya marah, kita pun juga terlindung dari konsekuensi emosional ya, jadi kita tidak perlu melihat orang marah atau orang nangis atau orang sedih gara-gara kata-kata yang kita sampaikan, karena kita tidak akan bisa melihatnya secara langsung. Termasuk juga gestur," papar Enda.
Selanjutnya, mengapa di media sosial netizen cenderung lebih ringan dalam bertindak yang demikian itu dikarenakan adanya kelompok berpikir komunitas atau group think.
"Kita tidak berpikir secara individual tapi mengikuti alur mayoritas atau nada yang sudah disampaikan oleh orang-orang lain dalam forum yang sama dan dengan kondisi itu, maka kita pun seolah-olah jadi kayak berlomba siapa yang bisa paling lucu atau paling kejam atau paling keji atau paling menusuk perasaan orang. Itu juga mengakibatkan intensitas ke dalam "kekejaman" komentar kita juga makin meninggi," papar dia.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Microneedling yang Tengah Viral di Media Sosial...