Tak hanya itu, Milda juga mencatat adanya pergeseran peran perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia selama 20 tahun terakhir.
Pada kurun waktu 15 tahun (2001-2015), peran perempuan dalam aksi terorisme lebih pada invisble rules atau di belakang layar.
Misalnya, mereka bertugas sebagai operasional fasilitator, pembawa pesan, dan perekrutan.
"Perempuan-perempuan dalam kategori ini mereka tidak hanya berfungsi sebagai perekrutan, tapi juga sebagai alat propaganda, karena mereka memang berada di bawah radar," jelas dia.
Baca juga: Soal Penusukan Wiranto, Ini Rentetan Jejak ISIS di Indonesia
"Pada saat itu, yang lebih banyak mengambil peran dalam perang jihad itu laki-laki, perempuan-perempuan ini luput dari pengawasan. Jadi memang dari 2001-2015 peran-peran mereka tidak terlihat," sambungnya.
Peran perempuan yang tak kalah pentingnya saat itu adalah ideological supporter.
Ia menjelaskan, perempuan-perempuan ini meregenerasi ideologi jihad kepada anak-anaknya.
Baca juga: Pelaku Penusuk Wiranto Terpapar ISIS, BNPT: Mereka Masih Eksis
Mereka yang masuk ke dalam kategori keluarga ini tidak mengizinkan anak-anaknya untuk sekolah di tempat lain, tetapi memiliki institusi dan pengajian sendiri.
"Materi-materi yang dikenal materi jihad itu justru berasal dari ibu mereka sendiri," ujarnya.
Baru pada 5-6 tahun terakhir, peran perempuan mulai bergeser menjadi visible rules, seperti pengeboman di Makassar dan Surabaya.
"Kalau sebelumnya melihat mereka lebih pada ideological supporter dan sebagainya, maka sekarang kita melihat bahwa perempuan turut andil dalam aksi mereka," kata Milda.
Baca juga: Pro Kontra dan Dampak di Balik Rencana Pemulangan Ratusan WNI Eks ISIS...