KOMPAS.com - Dalam masa pandemi, wanita tak menjalani normal baru. Justru inilah titik balik kembalinya wanita ke normal yang sewajarnya.
Yaitu makhluk multitasking yang berperan ganda sebagai ibu dari anak-anak, sebagai wanita yang kekasih dari seorang suami, dan sebagai wanita berkarir yang kemampuan kognitifnya berkembang terus, mengalami pembaruan demi pembaruan dari waktu ke waktu.
Hal ini dinyatakan Christin Wibowo, dosen Fakultas Psikologi Universitas Soegijapranata Semarang kepada Kompas.com, Senin (8/3/2021) tepat di Hari Perempuan Internasional.
Baca juga: Mengapa Ada Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret?
Sebelum pandemi, peran multitasking seorang perempuan mungkin hanya terbaca samar.
Baru setelah pandemi datang, di saat semua orang harus lebih banyak berdiam diri di dalam rumah ketimbang di luar rumah, terbaca jelaslah fungsi penting dari seorang wanita ini.
Dalam hal ini seorang ibu, akan total dalam menjalankan tugasnya sebagai sebuah tiang penyangga. Yaitu menjadi manajer rumah, menjadi pasangan kepala rumah tangga, menyayangi anak-anaknya hingga menemani anaknya belajar dalam konsep daring.
Menemani anak belajar ini sebenarnya bukan hal baru. Seperti istilah Christin, ini adalah normal lama.
"Bukankah sedari dulu seorang ibu lah yang biasanya menemani anak belajar. Ibu lebih bisa mengenalkan sistem belajar yang tepat ke anak-anaknya karena ia mengenal anaknya luar dalam, lahir batin."
Jika dulu peran ganda ini tak terbaca jelas, di pandemi ini jadi terlihat benderang. Konsep belajar daring, menampakkan peran wanita yang sesungguhnya.
Apakah laki-laki dalam hal ini suami tak bisa multitasking layaknya seorang wanita? Sebenarnya bisa. Meski mungkin, dari segi ketepatan dan kecepatan tak bisa sama.
Menurut Christin, jika diilustrasikan, otak laki-laki itu memiliki bentuk yang lebih besar dibanding otak wanita. Dan di antara otak kiri yang mengerjakan logika dan otak kanan yang mengerjaan perasaan, tersambung jembatan penghubung yang sangat panjang.
"Karena inilah, ketika tengah berlogika, laki-laki tak bisa menggunakan perasaan, begitupun sebaliknya. Karena jembatannya sangat panjang, laki-laki butuh jeda lama untuk mengganti otak kiri ke kanan atau kanan ke kiri."
Jadi sembari berlogika, wanita juga bisa berperasaan. Begitu sebaliknya. Faktor inilah yang membuat wanita bisa memikirkan banyak hal, merasakan banyak hal, dalam satu kisaran waktu.
Ibaratnya, ketika wanita tengah bersedih, ia bisa tetap waras berlogika memasak menu makan siang untuk anak-anaknya.