Walau aturan konstitusional amat jelas, namun kehendak atau bahkan gerakan untuk menurunkan presiden yang memegang jabatan selalu hidup dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Mengapa ada fenomena seperti ini?
Perlu kita simak pendapat, pengalaman, pengamatan dari Presiden RI ke-6 (2004-20014) Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY). Mari kita buka kembali bukunya yang berjudul SBY-SELALU ADA PILIHAN. Buku tebal ini ditulis 2014.
Buku ini sampai sekarang adalah satu-satunya hasil langsung tulisan presiden RI ketika masih menjabat, walau menjelang masa jabatannya berakhir di periode kedua. SBY adalah satu-satunya (sekurang-kurangnya sampai 2020 ) dari tujuh presiden RI yang menuliskan sendiri sejumlah catatan tentang pengalamnnya menjadi presiden.
Menurut SBY, dalam sejarah Indonesia, beberapa pergantian presiden berlangsung tidak normal dan tidak reguler. Misalnya Bung Karno diturunkan setelah sidang istimewa MPR. Lihat halaman 171 sampai 177.
Suharto, katanya, terpaksa mundur karena tidak ada dukungan di parlemen, atau bahkan tidak ada dukungan dari para pembantunya. BJ Habibie, ujarnya lagi, memilih tidak mencalonkan lagi jadi presiden karena pertanggungjawabannya di MPR ditolak. Sementara, kata SBY, Gus Dur diberhentikan oleh MPR karena dinyatakan melakukan tindakan tidak konstitusional.
"Praktik dan preseden politik seperti inilah yang barangkali menginspirasi banyak kalangan yang memiliki pemikiran untuk menurunkan atau menjatuhkan seorang presiden di tengah jalan," demikian pendapat SBY, lima tahun lalu.
Alasan lain mengapa beberapa pihak selalu ingin menurunkan presiden di tengah jalan, karena belum matangnya demokrasi dan etika politik di negeri ini.
"Sejumlah kelompok tampaknya tidak selalu sabar menunggu dan mempersiapkan diri untuk berkompetisi pada pemilihan umum berikutnya," tuturnya.
"Barangkali itu dianggap terlalu lama. Sudah menunggu lima tahun, belum tentu pula akan menang. Dipikirnya lebih murah jika bisa menjatuhkan yang sedang menjabat dan kemudian ada peluang baru."
"Memang sederhana jalan pemikiran pihak-pihak seperti itu. Sederhana, tapi salah. Tidak mendidik. Tetapi itu realitasnya, dan itu sungguh terjadi," begitu kata Presiden ke-6 yang bisa selamat dari realitas politik seperti itu.
Apakah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo masih hidup budaya atau keinginan spontan menurunkan kepala pemerintahan/negara di tengah jalan? Mungkin masih ada walau gerakan 'kecil'.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan