Pengguna bisa mendapatkan keuntungan dari atensi yang didapatkan dengan cara memonetisasinya.
Sementara platform bisa memanfaatkan tingginya atensi pengguna untuk mendapat pemasukan dari iklan.
Angka atau data terkait seberapa banyak interaksi yang terjalin, lama waktu penggunaan, dan sebagainya akan digunakan oleh platform untuk disodorkan pada pengiklan.
Ini adalah cara bagaimana platform hidup dan mendapat pemasukan.
"Jadi platform itu dapat keuntungan dari iklan. Kalau misalnya penggunanya, grafiknya makin turun, habis itu, platform akan dituntut oleh pemegang saham, bagaimana caranya supaya naik lagi," ujar Fahmi.
Baca juga: AstraZeneca Sebut Vaksinnya Akan Efektif pada Varian Baru Virus Corona
Pola ini semakin didukung oleh adanya sistem algoritma platform media sosial yang akan mengunggulkan konten-konten dengan interaksi tinggi.
Jadi, suatu konten yang berisi sensasi atau mendatangkan perdebatan dan perhatian dari publik yang luas, akan ditampilkan di urutan teratas dalam sebuah lini masa.
Sebaliknya, konten yang tidak mengundang atensi pengguna akan diletakkan di bagian bawah atau tidak disorot dan diletakkan di awal.
Meskipun konten itu berisi sebuah fakta, ilmu, kebaikan, dan sisi-sisi yang positif lainnya.
"Makanya semua berlomba-lomba untuk mencari atensi," ungkap dia.
Sementara itu, hal yang sama juga ternyata terjadi pada pengguna atau warganet yang dalam hal ini berposisi sebagai konsumen, bukan pembuat konten.
Mereka kerap menunjukkan eksistensinya dengan meninggalkan komentar dalam unggahan, yang tidak kalah sensasional.
Fahmi mengklasifikasikan netizen atau pengguna media sosial yang seperti ini dalam dua kelompok.
Pertama troll politik yang memang sengaja memberikan komentar baik positif maupun negatif, demi menaikkan atau menjatuhkan suatu pihak politik. Namun mereka melakukannya karena dibayar.
"Mereka eksis lewat komen. Dengan komentar, bikin ribut, dia senang ketika komentarnya diributin sama orang," ungkap Fahmi.