KOMPAS.com - Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah akan memberlakukan kebijakan pengetatan terukur.
Pengetatan terukur ini merupakan istilah baru yang merupakan kebijakan untuk mencegah penularan virus corona saat libur Natal dan Tahun Baru 2020.
"Kami bukan menerapkan PSBB, tapi akan menerapkan kebijakan pengetatan yang terukur dan terkendali, supaya penambahan kasus dan kematian bisa terkendali dengan dampak ekonomi yang relatif minimal," ujar Luhut dikutip dari siaran pers di laman resmi Kemenkomarves, Rabu (16/12/2020).
Menurut dia, usulan intervensi yang akan dilakukan adalah pengetatan aktivitas masyarakat secara terukur dan terkendali, seperti pemberlakuan work from home (WFH) sampai 75 persen.
Pengetatan terukur menjadi istilah ketiga yang dikeluarkan pemerintah untuk menjelaskan soal pembatasan akibat virus corona.
Sebelumnya, pemerintah juga mengeluarkan istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi yang pertama kali diterapkan pada Juni 2020.
Baca juga: Bantah Akan Perketat PSBB, Luhut: Pengetatan Terukur Saat Libur Natal dan Tahun Baru
PSBB transisi ini akan diberlakukan hingga virus corona di Jakarta benar-benar bisa ditekan.
Pemerintah kemudian kembali mengeluarkan istilah PSBB ketat pada September 2020, seiring tingginya kasus di Jakarta.
Apa dampak munculnya istilah-istilah baru untuk tindakan pembatasan yang hampir sama?
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, satu simbol istilah yang dibuat beranekaragam akan menimbulkan ketidakpastian.
"Jadi kalau satu simbol itu dibuat beraneka ragam untuk satu makna itu menimbulkan masalah pada ketidakpastian. PSBB itu kan simbol bahasa yang di dalamnya ada makna dan deskripsi," kata Drajat kepada Kompas.com, Kamis (17/12/2020).
Ketika simbol itu dibuat beraneka ragam, menurut dia, maknanya pun akan beragam.
Menurut Drajat, hal ini akan menimbulkan jarak dan pengaburan makna atau istilahnya polusi simbolik.
Baca juga: Bukan PSBB, Pemerintah Akan Berlakukan Pengetatan Terukur Saat Libur Natal dan Tahun Baru
Kedua, beragamnya istilah itu juga akan mengakibatkan perbedaan berpikir.
"Karena terjadinya perbedaan berpikir, maka akan berkurang kesamaan tindakan atau gerakan dan berakibat pada penurunan makna nilai keberartian dari simbol itu sendiri" jelas dia.
"Ini akan membuat PSBB lama-lama akan kurang bermakna, karena istilahnya terus diganti," lanjut Drajat.
Sementara itu, epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengaku tak masalah jika pemerintah menggunakan istilah baru.
Namun, istilah itu harus disertai dengan maksud yang jelas dan tidak menghilangkan esensinya.
"Tidak apa-apa menggunakan istilah baru, asal jelas maksudnya dan tidak malah mengaburkan esensi terutama yang berkaitan dengan pemutusan rantai penularan," kata Windhu, saat dihubungi secara terpisah, Kamis.
Baca juga: Luhut: Pengetatan Terukur Saat Natal dan Tahun Baru Bukan Seperti PSBB