Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak Vaksinasi Covid-19 yang Tidak Merata Hanya Mengubah Pandemi Jadi Endemi

Kompas.com - 14/12/2020, 13:45 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Indonesia telah memutuskan akan menggunakan enam produk vaksin corona untuk program vaksinasi. 

Hal itu seperti disebutkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor H.K.01.07/Menkes/9860/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disease (Covid-19). 

Vaksin tersebut antara lain, PT Bio Farma (Persero), Astra Zeneca, China National Pharmaceitical Group Corporation (Sinopharm), Moderna, Pfizer and BioNTech, dan Sinovac Biotech Ltd.

Namun tidak semua vaksin tersebut bisa didapatkakn secara gratis.

Dari 107 juta penduduk kelompok prioritas yang menjadi target pemerintah untuk penyuntikan vaksin, hanya sekitar 32 juta orang yang mendapatkannya gratis.

Sisanya, 75 juta orang harus membayar untuk mendapatkan vaksin yang disebut pemerintah dalam program vaksinasi mandiri. 

Baca juga: Mengenal 6 Vaksin Covid-19 yang Ditetapkan untuk Vaksinasi di Indonesia

Pandemi menjadi endemi

Lebih banyaknya orang yang harus menjalani vaksinasi mandiri atau berbayar dikhawatirkan banyak ahli. Sebab justru dinilai menjadikan program vaksinasi tidak akan berjalan efektif. 

Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, adanya perbedaan antara program vaksin gratis dan berbayar bisa menyebabkan kegagalan strategi vaksinasi.

Yaitu di saat negara lain menggratiskan vaksin dan dapat menurunkan kurva pandemi, Indonesia bisa jadi akan tertinggal. 

"Yang artinya ya berubahnya (pandemi) menjadi endemi," kata Dicky, ketika dihubungi Sabtu (12/12/2020).

Ketidakefektivan itu selanjutnya juga dapat menjadi kerugian bagi Pemerintah. Dicky menyebut hal itu dikarenakan Pemerintah sudah mengeluarkan dana, menyusun strategi dan upaya tertentu sebelumnya, namun hasilnya tidak optimal. 

"Tidak efektif karena persiapan tidak matang, strategi tidak memadai atau tidak tepat, kan jadi sangat merugikan," ujarnya.

Baca juga: 75 Juta Orang Harus Bayar Sendiri, Ini Rincian Harga Vaksin Corona Indonesia

Pandemi semakin panjang

Dicky juga menyebut, potensi rendahnya efektivitas vaksinasi di lapangan bisa membuat pandemi yang berlangsung menjadi semakin panjang.

Hal itu karena ada perbedaan kemampuan masyarakat dalam mengakses vaksinasi gratis pemerintah dan vaksinasi mandiri. 

"Karena korban setiap hari akan terus ada, selain potensi menjadi lama sekali pandeminya berakhir," ungkap Dicky.

Ia berpendapat, program vaksinasi mandiri ini bisa saja diterapkan apabila kondisi sudah membaik, artinya penyebaran virus mulai dapat dikendalikan. 

"Kewajiban Pemerintah untuk menyediakan segala hal, bukan hanya vaksin, hubungan perawatan, program, dan semua, tentu dilakukan oleh dana Pemerintah, itu sudah sangat wajar," sebut dia.

"Kecuali situasinya sudah bukan pandemi, sudah dicabut, kebencanaan nasional sudah dicabut, baru wajar bila tidak gratis," jelas dia. 

Baca juga: Ada Vaksin Covid-19 Berbayar dan Gratis, Pemerintah Diminta Transparan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Tren
Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Tren
Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com