Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memaknai Suara untuk Kotak Kosong pada Pilkada 2020...

Kompas.com - 12/12/2020, 19:44 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Di sejumlah daerah yang menyelenggarakan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, ada kandidat pasangan calon yang melawan kotak kosong.

Kotak kosong dihadirkan agar pemilihan tak diikuti oleh pasangan calon tunggal.

Dari ratusan daerah yang menggelar Pilkada, tercatat ada 25 kabupaten/kota yang hanya diikuti 1 pasangan calon.

Sesuai dengan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), paslon tunggal bertarung melawan kotak kosong untuk menduduki posisi kepala daerah.

Berdasarkan hasil sementara real count Pilkada 2020, kotak kosong di beberapa daerah berhasil meraup puluhan ribu suara dari pemilih, meski tidak sampai mengungguli paslon tunggal.

Salah satunya dapat dilihat pada Pilkada 2020 di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, yang mempertemukan paslon Dosmar Banjarhanor-Oloan P Nababan melawan kotak kosong.

Berdasarkan pantauan progress real count sementara di laman KPU, Sabtu (12/12/2020), sebanyak 308 dari 385 TPS di Kabupaten Humang Hasundutan (80,00 persen) telah dihitung suaranya.

Kotak kosong memperoleh 38.016 suara atau 47,8 persen, sedangkan paslon Dosmar Banjarhanor-Oloan P Nababan memperoleh 41.499 suara atau 52,2 persen.

Di sejumlah daerah lain yang menghadirkan pertarungan pasangan calon vs kotak kosong, suara yang diraih kotak kosong juga tak "receh".

Baca juga: Enam Paslon Tunggal Pilkada Jateng Unggul Telak Lawan Kotak Kosong

Angkanya mencapai puluhan ribu. Apa yang bisa dipelajari dari fenomena banyaknya suara untuk kotak kosong?

Pragmatisme politik

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan, fenomena kotak kosong di beberapa daerah pada Pilkada 2020 menunjukkan egoisme elit politik di daerah itu.

"Artinya, tidak memberikan kesempatan pada calon lain. Pragmatis saja, mendukung calon yang pasti menang," kata Hendri saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/2/2020).

Hendri mengatakan, pragmatisme elit politik semacam itu bisa mendapat "hukuman" dari masyarakat.

"Masyarakat bisa enggak menghukum itu? Bisa, dan pernah menang kotak kosong itu," kata Hendri.

Hendri mengatakan, kotak kosong pernah menang pada Pilkada Kota Makassar yang digelar tahun 2018 lalu.

Cara menghukum elit politik

Seperti diberitakan, Kompas.com, 7 Juli 2018, pada Pilkada Kota Makassar 2018, kotak kosong keluar sebagai pemenang.

Paslon tunggal, yakni Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu), hanya meraih 264.245 suara atau 46,77 persen suara sah.

Adapun kotak kosong mendapatkan 300.795 suara atau 53,23 persen dari total suara sah sebanyak 565.040 suara.

Hendri menyebutkan, keputusan masyarakat untuk memilih atau memenangkan kotak kosong sama dengan pilihan masyarakat untuk golput atau tidak menggunakan hak pilihnya.

Pilihan yang diambil oleh masyarakat untuk "menghukum" atau menyuarakan protes terhadap keputusan elit politik yang dianggap mengecewakan.

"Jadi sebetulnya, kalau masyarakat mau menghukum elit politik yang memang egois dan tidak mau mendengarkan aspirasi publik, dengan hanya menghadirkan calon kepala daerah terbatas, itu hukuman paling dahsyatnya adalah memenangkan kotak kosong," kata Hendri.

Baca juga: Paslon Pilkada 2020 di 25 Daerah Lawan Kotak Kosong, Ini Hasil Sementara Real Count-nya

Kegagalan kaderisasi partai

Sementara itu, dikutip dari Kompas.com, Kamis (10/12/2020), pengamat politik Universitas Diponegoro Semarang, Wijayanto mengatakan, paslon tunggal yang melawan kotak kosong bukan merupakan pilihan yang terbaik untuk membangun proses demokrasi.

Dia menilai, hal tersebut membuat masyarakat hanya mempunyai pilihan yang terbatas, bahkan tidak adanya pilihan lain untuk perbandingan.

"Paslon tunggal adalah preseden buruk untuk demokrasi. Karena membuat publik hanya punya pilihan yang terbatas, bahkan tidak ada pilihan," jelas Wijayanto

Menurut dia, kemunculan paslon tunggal di suatu daerah merupakan refleksi bahwa partai gagal melakukan kaderisasi politik dan melahirkan calon alternatif yang bertujuan mencetak pemimpin bangsa.

Baca juga: Strategi Kampanye Calon Petahana Lawan Kotak Kosong di Pilkada Kota Semarang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kapan Waktu Terbaik Olahraga untuk Menurunkan Berat Badan?

Kapan Waktu Terbaik Olahraga untuk Menurunkan Berat Badan?

Tren
BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 30 April hingga 1 Mei 2024

BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 30 April hingga 1 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Manfaat Air Kelapa Muda Vs Kelapa Tua | Cara Perpanjang STNK jika Pemilik Asli Kendaraan Meninggal Dunia

[POPULER TREN] Manfaat Air Kelapa Muda Vs Kelapa Tua | Cara Perpanjang STNK jika Pemilik Asli Kendaraan Meninggal Dunia

Tren
NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

Tren
Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Tren
Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Tren
Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Tren
Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Tren
Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Tren
Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Tren
Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Tren
La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

Tren
Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Tren
Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com