Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, ada yang perlu diluruskan terkait informasi ini.
KOMPAS.com - Beredar peringatan di media sosial untuk waspada karena vaksin Covid-19 menggunakan teknologi mRNA yang belum pernah diuji dan dapat merusak DNA.
Peringatan itu juga menyebut sebanyak 75 persen relawan uji coba vaksin pernah mengalami efek samping.
Dua klaim itu perlu diluruskan.
Faktanya, sejumlah produsen vaksin Covid-19, seperti Pfizer dan Moderna, memang menggunakan teknologi mRNA yang belum pernah diuji. Namun, sejumlah ahli menegaskan vaksin mRNA tidak mengubah atau merusak DNA manusia.
Selain itu, sebagian relawan uji coba vaksin Pfizer dan Moderna mengalami efek samping dalam tingkat ringan hingga sedang, seperti pusing dan demam. Efek samping itu disebut biasa terjadi pada proses vaksinasi.
Akun Facebook Art Hansen pada 10 November 2020 menuliskan status berisi peringatan bahwa vaksin Pfizer memakai teknologi mRNA yang belum pernah diuji atau disetujui sebelumnya.
Vaksin dengan teknologi tersebut dapat merusak DNA manusia. Dia juga menulis bahwa sebanyak 75 persen relawan uji coba vaksin mengalami efek samping.
Berikut isi lengkap statusnya:
"Reminder: the Pfizer vaccine uses mRNA technology which has never been tested or approved before.
It tampers with your DNA.
75% of vaccine trial volunteers have experienced side effects.
Beware."
Dialihkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
"Pengingat: vaksin Pfizer menggunakan teknologi mRNA yang belum pernah diuji atau disetujui sebelumnya.
Itu merusak DNA Anda.
75% relawan uji coba vaksin pernah mengalami efek samping.
Waspada."
Narasi itu juga disampaikan akun Facebook Robert F Hyde lewat unggahan tangkapan layar. Narasi serupa juga diedarkan dua akun Facebook yang ada di tautan ini dan ini.
Baru-barun ini, Pfizer mengumumkan tingkat keberhasilan vaksin Covid-19 hasil kolaborasinya dengan BioNTech mencapai 95 persen. Sementara, Moderna Inc mengumumkan vaksin buatannya punya efektivitas hingga 94,5 persen.
Vaksin Pfizer dan Moderna sama-sama menggunakan teknologi messenger RNA (mRNA).
Johns Hopkins University & Medicine menulis bahwa vaksin mRNA lebih mudah dikembangkan dan diproduksi dibandingkan dengan jenis vaksin lain karena tidak memerlukan pembiakan virus di dalam sel.