Gampang sekali mematahkan alasan itu. Sedangkan tak ada pilkada, angka orang tertular dan meninggal, tidak bisa dikendalikan. Bagaimana lagi kalau pilkada dilangsungkan.
Pilkada berarti mobilisasi manusia ke TPS. Ada 270 kabupaten/kota dan 9 provinsi menyelenggarakan pilkada. Angka yang sangat fantastis untuk memungkinkan berkecambahnya virus.
Tak ada jaminan bahwa Covid-19 mereda tahun depan, karena itu, pilkada tetap dilakukan. Begitu alibi para ponggawa negeri. Bukankah selama ini, para ponggawa negeri kita telah mendeklarasikan bahwa sudah sekian juta vaksin akan memenuhi negeri kita awal tahun depan sehingga bersinar harapan untuk menaklukkan Covid-19?
Mengapa terjadi dua argumen yang bersilangan, satu dengan lainnya? Tentu saja, tidak ada jaminan Covid-19 berahir tahun depan, tetapi ada harapan.
Dan bukankah ada sejumlah wali kota/bupati masih memiliki sisa jabatan hingga tahun depan? Lagi pula, selama ini kita mengenai dan mempraktikkan mekanisme pelaksana tugas (Plt)? Semuanya berjalan baik tanpa ada riak.
Mengapa ponggawa negeri tiba-tiba terkesan alergi dengan mekanisme Plt? Wah, Plt itu tidak berwibawa nanti, karena tidak dipilih rakyat, kata seorang ponggawa negeri. Namanya Plt, tentu sementara, tidak terus menerus.
Apa yang terjadi, bila pilkada tetap diteruskan, para pemilih takut menggunakan hak pilih mereka lantaran Covid-19?
Legitimasi orang yang terpilih ditentukan oleh jumlah orang yang memilihnya (voters turnout). Ketakutan tersebut bisa terjadi karena alasan alami, atau para calon yang saling mematikan itu, melempar isu tersebut untuk kawasan tertentu yang mungkin bukan basisnya.
Lalu, saingannya melakukan hal yang sama. Apa para ponggawa bisa mendeteksi ini?
Dan kalau toh bisa, bagaimana menghukumnya? Bukankah selama ini, pilkada yang telah kita lakukan, pengalaman menunjukkan, menjelang hari pencoblosan, ada istilah serangan fajar, alias bagi-bagi sembako dan uang ke rakyat?
Bisa jadi isu Covid-19 ini jadi agenda serangan fajar kelak. Tentu lebih murah karena tak perlu membagi uang dan barang. Cukup menyebar kisah tentang Covid-19. Bisa-bisa memang, para calon menggunakan Covid-19 menyerang lawan sebelum fajar menyingsing.
Tapi ya, siapa kami ini. Kami hanya punya semangat keprihatinan, tapi tidak punya kuasa dan kewenangan. DPR, Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum yang memiliki otoritas untuk mengatakan, kita tunda atau kita teruskan pilkada.
Pemerintah bukan satu-satunya pihak yang menentukan terus tidaknya pilkada. Kita salah bila hanya pemerintah yang kita sorot. DPR RI dan KPU juga menentukan, begitu bunyi ketentuan yang ada.
Saya kira, pihak DPR lebih banyak kepentingannya untuk meneruskan pilkada karena faktor calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai di daerah. Para anggota DPR RI diajukan oleh partai politik.
Di atas segalanya, bukankah lebih baik bila para penentu tersebut duduk bareng dengan para ahli epidemik dan dokter, bicara dari hati ke hati, atas nama dan demi kemaslahatan rakyat.
Para ahli epedemik dan dokter inilah yang memiliki otoritas memberi prediksi tentang risiko kesehatan dan nyawa, melanjutkan atau tidaknya pilkada pada bulan Desember. Jangan hanya dilihat dari satu aspek, misalnya, aspek politik saja.
Biarkanlah para ahli epedemik dan dokter, secara leluasa mengemukakan keahliannya.
Selain itu, tentu mereka memiliki data otentik yang original, yang bisa menjelaskan apa sesungguhnya yang terjadi dan sampai kapan kita akan mengalaminya? Moga memang begitu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.