KOMPAS.com - Jalan panjang kasus Djoko Tjandra masih terus berlanjut. Penangkapan terpidana kasus Bank Bali itu menjadi titik awal terbongkarnya kasus suap yang melibatkan sejumlah nama.
Satu di antaranya adalah Jaksa Sirna Malasari yang diduga menerima suap sebesar 500.000 dollar AS atau setara dengan Rp 7,4 miliar dan berperan dalam memuluskan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Djoko.
Meski Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango meminta agar kasus itu ditangani KPK, tetapi pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menolaknya.
Baca juga: Diduga Terlibat Kasus Djoko Tjandra, Berapa Kekayaan Jaksa Pinangki?
Nawawi menyebut, penyerahan kasus itu kepada KPK akan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap obyektivitas penanganan perkara.
Sementara, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono menegaskan bahwa setiap institusi penegak hukum memiliki wewenang dalam menangani kasus dan seharusnya saling mendukung.
Lantas, siapa yang lebih berhak menangani kasus jaksa Pinangki?
Peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Beni Kurnia Ilahi menegaskan, KPK lebih berwenang dalam penanganan kasus Jaksa Pinangki.
Pasalnya, hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
"Secara kewenangan KPK dalam UU jelas mengatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang-orang yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi, khususnya aparat penergak hukum," kata Beni kepada Kompas.com, Sabtu (29/8/2020).
"Dari frasa itu saya melihat bahwa untuk penanganan kasus Jaksa Pinangki ini memang ranahnya KPK yang harus kemudian melakukan penyidikan atau penuntutan hingga persidangan," sambung dia.
Baca juga: Saat KPK dan Kejagung Berebut Menangani Kasus Jaksa Pinangki...
Di bawah Kejagung, menurut Beni, penanganan kasus tersebut akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Selain itu, kasus tersebut juga berpotensi menghilangkan keindependensian lembaga.
"Sederhana saja, kalau kemudian kasus jaksa ditangani juga oleh Kejagung, ini kan sama saja artinya ibarat orang tua menghukum anaknya, tentu tidak akan muncul keindependensian lembaga," kata pria yang juga dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) itu.
Baca juga: Perjalanan Kasus Jaksa Pinangki, dari Foto Bersama Djoko Tjandra hingga Menjadi Tersangka
Oleh karena itu, ada dua cara agar kasus suap yang melibatkan Jaksa Pinangki ini dapat ditangani secara transparan.
Pertama, Kejagung harus melimpahkan kasus tersebut secara arif kepada KPK, sesuai amanat UU.
Kedua, KPK mengambil alih status penanganan kasus Jaksa Pinangki.
Baca juga: Akhir Pelarian Djoko Tjandra dan Cerita Tiga Jenderal
Beni menjelaskan, ada banyak indikator yang memungkinkan KPK untuk mengambil alih kasus tersebut.
Salah satunya adalah pertimbangan bahwa penanganan tindak pidana korupsi ini sulit untuk dilaksanakan secara baik dan dipertanggungjawabkan.
"Karena kita tidak bisa memungkiri bahwa penanganan kasus Jaksa Pinangki ini jika ditangani oleh Kejagung, sulit dilaksanakan dengan baik dan dipertanggungjawabakan," tutur dia.
Buktinya, dikeluarkannya pedoman pemeriksaan di lingkungan Kejagung harus mendapat izin dari Jaksa Agung.
Bahkan, KPK tidak dilibatkan sedikit pun dalam penanganan kasus ini.
Hal yang paling aneh menurut Beni adalah Komisi Kejaksaan (Komjak) yang bertugas mengawasi kinerja jaksa-jaksa tersebut pun juga tidak dilibatkan.
"Masukan dan rekomendasi dari Komjak tidak didengarkan oleh Kejagung. Padahal dalam Perpres tentang Komjak itu kan berisi bahwa Komjak berhak untuk memberikan rekomendasi dan saran serta harus didengarkan oleh Kejagung," tutup dia.
Baca juga: Berkaca dari Jaksa Pinangki, Mengapa Sejumlah Orang Suka Operasi Plastik?
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) mengambil alih penanganan perkara kasus dugaan suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari dai Kejaksaan Agung.
"ICW menagih komitmen dan keberanian dari Pimpinan KPK untuk segera mengambil alih penanganan perkara yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari Kejaksaan Agung," kata Kurnia kepada Kompas.com, Kamis (27/8/2020).
Ada dua alasan mengapa KPK harus mengambilalih kasus ini.
Baca juga: 5 Fakta soal Djoko Tjandra, dari Dirikan Grup Mulia hingga Ditangkap Polisi di Malaysia
Pertama, Kejagung sangat lambat membongkar praktik suap yang dilakukan Jaksa Pinangki.
Kedua, praktik suap-menyuap tersebut dilakukan oleh seorang penegak hukum dan terhadap penegakan hukum.
"Hal ini penting dilakukan, agar obyektivitas dan independensi penanganan perkara tetap terjamin," kata dia.
Baca juga: Deretan Tersangka dalam Kasus Pelarian Djoko Tjandra...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.