PANDEMI menjadi salah satu efek eksploitasi terhadap alam yang berkepanjangan. Sudah cukup lama para ahli memperingatkan hal ini.
Terhitung sejak sejak akhir abad kesembilan belas, sesungguhnya manusia telah menyadari bahwa perubahan iklim mempengaruhi munculnya penyakit pandemi, bahkan sebelum agen infeksinya ditemukan (McMichael, et all:2003).
Sebenarnya, banyak tanda-tanda kerusakan alam oleh manusia yang mudah dikenali. Mulai dari intensitas banjir yang meningkat, alih fungsi hutan menjadi pemukiman atau industri, perkebunan monokultur, hingga kekeringan air yang menyebabkan manusia bermigrasi ke tempat lain.
Eksploitasi alam pun, tidak hanya terkait dengan vegetasi tumbuhan saja. Binatang pun menjadi bagian dari alam yang ikut ditindas dari habitat aslinya. Binatang liar, yang tanpa diketahui masyarakat awam seringkali membawa patogen, kini semakin terekspos oleh manusia.
Banyak diketahui, binatang-binatang liar yang langka, yang idealnya dikembalikan ke tempat aslinya, malah dipelihara, bahkan diolah menjadi makanan. Semua itu dilakukan oleh makhluk hidup yang tidak lain adalah kita, manusia.
Di Indonesia, isu mengenai perubahan iklim (climate change) mungkin tidak seksi. Media mainstream lebih tertarik mengulas seputar konflik sosial populer.
Padahal, exposure informasi mengenai dampak perubahan iklim sangatlah penting. Bagaimana tidak? Dampak perubahan iklim menyangkut hidup kita di masa depan. Melibatkan hajat hidup generasi mendatang. Peristiwa cuaca ekstrem dapat membantu menciptakan peluang lebih besar untuk munculnya wabah penyakit (Haines, et all. 2000).
Eksploitasi terhadap alam adalah dosa besar yang sayangnya tidak disadari oleh sebagian besar umat manusia. Sifat alam yang memberi, sama seperti kasih seorang Ibu yang “hanya memberi, tak harap kembali”.
Barangkali itu sebabnya alam mendapatkan terminologi mother nature, atau mother earth. Karena bak seorang Ibu, alam tidak meminta lebih dari manusia yang telah diberikan sumber daya dengan cuma-cuma.
Layaknya kebanyakan Ibu yang ingin anaknya tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat, alam mungkin hanya menginginkan manusia tumbuh dengan menjaga keseimbangan antar sesama makhluk hidup.
Tidak sulit menemukan penelitian ilmiah yang memaparkan bahwa pemanasan iklim jangka panjang bisa mendukung ekspansi geografis dalam bentuk penyakit menular. Namun agaknya, sulit meyakinkan masyarakat akan hal ini.
Di Amerika, hanya 59 persen masyarakatnya yang percaya bahwa perubahan iklim adalah ancaman nyata (Pew Research:2018). Sebagai negara maju, Amerika memang dirunding krisis identitas.
Presidennya sendiri, Donald Trump saja juga terang-terangan tidak percaya terhadap ancaman perubahan iklim. Trump menyebutnya sebagai hoaks.
Lantas Indonesia sendiri, ada 56 persen masyarakatnya yang percaya bahwa climate change adalah ancaman serius untuk kehidupan umat manusia. Angka yang cukup besar untuk sebuah negara berkembang dengan paparan yang kurang terhadap pendidikan lingkunan.
Namun angka tersebut menjadi tidak berarti bila kita mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan sumber keanekaragaman hayati terbesar di dunia.