KOMPAS.com - Sebuah kapal tanker minyak milik Jepang dilaporkan menghantam karang di lepas Pantai Mauritius pada 25 Juli 2020.
Kapal yang membawa hampir 4.000 metrik ton minyak itu kandas di dekat Pointe d'Esny di Samudera Hindia.
Lebih dari 1.000 ton minyak dilaporkan bocor dari retakan di lambung kapal. Hal itu membuat Pemerintah Mauritius mengumumkan keadaan darurat lingkungan.
Untuk menangani masalah itu, ada sejumlah cara yang biasa dilakukan.
Dilansir dari DW, Rabu (12/8/2020), metode penanganan tumpahan minyak bergantung pada beberapa faktor, termasuk jenis dan volume minyak, lokasi, serta kondisi cuaca.
Karena memiliki massa jenis lebih rendah dari air, minyak biasanya mengapung di permukaan laut.
Artinya, langkah pembersihan harus diambil dengan cepat sebelum menyebar lebih luas.
Baca juga: Bencana Minyak Tumpah Mauritius, Hewan Laut Mulai Mati
Salah satu metode untuk mengendalikan tumpahan minyak di laut adalah dengan mengambilnya dari permukaan air.
Metode ini telah digunakan pada kasus tenggelamnya kapal kargo Grande Amerika pada 2019 di sekitar 300 kilometer dari lepas pantai Perancis.
Metode ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut boom. Alat itu berfungsi sebagai penghalang minyak agar tidak menyebar.
Setelah boom terisi, perahu yang dilengkapi dengan mesin skimmer akan menyedot minyak dan memisahkannya dari air.
Namun, metode ini hanya bisa berfungsi jika tumpahan minyak berada pada satu area dan dalam kondisi yang tepat.
Dalam kondisi tertentu, membakar minyak dari permukaan air bisa menjadi metode yang paling tepat. Di perairan Arktik atau yang tertutup es, misalnya, itu mungkin satu-satunya pilihan.
Metode ini juga akan digunakan untuk mengatasi kebocoran minyak yang tak terkendali dan telah menyebar dengan cepat.
Baca juga: Bencana Lingkungan, Ribuan Ton Minyak Tumpah di Mauritius Terlihat dari Luar Angkasa
Ketika rig pengeboran minyak di lepas pantai Deepwater Horizon terbakar dan tenggelam pada 2010 silam, minyak menyembur dari dasar laut dan menyebabkan tumpahan terbesar dalam sejarah.
Metode pembakaran minyak di air terbukti menjadi teknik yang sangat efektif dalam menanggapi bencana tersebut.
Akan tetapi, metode tersebut juga menghasilkan asap beracun yang dapat berdampak negatif pada lingkungan.
"Mungkin sulit untuk mengumpulkan minyak agar cukup kental sehingga bisa dibakar. Jika minyak telah tersebar selama beberapa hari, itu tidak akan menjadi pilihan," kata Nicky Cariglia, konsultan independen di Marittima yang mengkhususkan diri pada pencemaran laut.
Akan tetapi, metode ini lebih berguna untuk membersihkan sejumlah kecil minyak di darat dan tidak efektif dalam mengatasi tumpahan di laut.
Penggunaan bahan-bahan yang digunakan untuk menyerap minyak di atas air juga dapat menciptakan polusi lebih lanjut.
"Memulihkan dan membuang bahan-bahan yang diminyaki ini membutuhkan banyak energi. Ada risiko puing-puing yang diminyaki akan hilang di laut," kata Cariglia.
Ketika wilayah tumpahan minyak sulit dijangkau, alam sendiri dapat membantu mengatasi masalah tersebut.
Angin dan gelombang secara alami akan menyebarkan minyak dari waktu ke waktu.
Bagian-bagiannya akan menguap dan mikroba yang terbentuk secara alami juga akan melakukan tugasnya untuk mulai mengurai minyak.
Namun, ini adalah proses yang lambat dan tidak dapat diandalkan serta membutuhkan pengawasan secara ketat.
Bahan kimia, seperti dispersan juga dapat digunakan untk membantu proses ini, meski dapat menyebabkan masalah lingkungan jika digunakan pada lokasi dangkal.
"Misalnya di lokasi yang terdapat terumbu karang, akan lebih baik jika minyaknya tetap di permukaan," papar Cariglia.
"Tak ada obat ajaib tunggal untuk mengatasi tumpahan minyak," lanjut dia.
Baca juga: Tragedi Minyak Tumpah Terparah di Mauritius, Keadaan Darurat Lingkungan Diumumkan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.