Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Solusi Kasus Bangun Tembok karena Kotoran Ayam, Ini Saran Sosiolog...

Kompas.com - 25/07/2020, 13:10 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hidup bermasyarakat memang tidak selamanya terhindar dari konflik. Terkadang, muncul permasalahan antar tetangga yang kemudian memengaruhi satu dengan lainnya.

Seperti permasalahan yang dialami Wisnu Widodo, warga Desa Gandukepuh, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Ia terpaksa melompati tembok setinggi satu meter untuk bisa masuk dan keluar dari rumahnya.

Wisnu menyebutkan, tembok itu dibangun tetangganya berinisial M. Padahal, tembok itu dibangun di atas lahan milik desa.

Kepala Desa Gandukepuh Suroso mengatakan, masalah pembangunan pagar tembok itu disebabkan masalah sepele.

Suroso menceritakan, Wisnu memelihara ayam pada 2016. Saat itu, M bersama suaminya sering menginjak tahi ayam saat melewati jalanan di depan rumah Wisnu.

Karena kesal, M membangun pagar tembok di depan rumah Wisnu pada 2017.

Permasalahan telah coba diselesaikan oleh pemerintah desa dengan memediasi kedua pihak, namun masalah tidak kunjung usai dan hingga kini, Wisnu masih harus melompati tembok itu untuk masuk rumahnya.

Mengapa masalah yang terlihat sepele bisa menjadi besar di desa? Apakah hal itu disebabkan oleh pola interaksi sosial masyarakat desa?

Baca juga: Gara-gara Tahi Ayam, Tetangga Bangun Tembok Setinggi 1 Meter di Depan Rumah Wisnu

Solidaritas mekanis

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono mengatakan, ada pola interaksi sosial yang berbeda antara masyarakat desa dengan masyarakat kota.

Pada masyarakat kota, secara sosiologis, pola interaksi mereka disebut dengan solidaritas organik. Hal itu berarti interaksi antar masyarakat kota didasarkan atas peran dan fungsi yang diemban oleh masing-masing anggota masyarakat.

"Contohnya saat saya mengajar di kelas kepada mahasiswa. Setelah mengajar ya fungsi saya selesai, artinya hubungan saya dan mahasiswa hanya didasarkan pada fungsi saya sebagai pengajar," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (25/7/2020).

Sementara itu, pada masyarakat desa pola yang mereka miliki berbeda. Drajat menjelaskan hal itu dengan istilah solidaritas mekanis, atau didasarkan pada perasaan dan tidak melihat fungsi atau peran.

"Karena hal itu, maka orang-orang di desa saling kenal dan juga merasa saling memiliki. Dalam hal penyelesaian masalah, mereka juga memiliki cara yang berbeda dengan orang kota," kata Drajat.

Ia mencontohkan pada kasus tabrakan motor. Di kota, masalah bisa selesai ketika penabrak dan yang ditabrak sepakat untuk melakukan ganti rugi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com