Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Solusi Kasus Bangun Tembok karena Kotoran Ayam, Ini Saran Sosiolog...

KOMPAS.com - Hidup bermasyarakat memang tidak selamanya terhindar dari konflik. Terkadang, muncul permasalahan antar tetangga yang kemudian memengaruhi satu dengan lainnya.

Seperti permasalahan yang dialami Wisnu Widodo, warga Desa Gandukepuh, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Ia terpaksa melompati tembok setinggi satu meter untuk bisa masuk dan keluar dari rumahnya.

Wisnu menyebutkan, tembok itu dibangun tetangganya berinisial M. Padahal, tembok itu dibangun di atas lahan milik desa.

Kepala Desa Gandukepuh Suroso mengatakan, masalah pembangunan pagar tembok itu disebabkan masalah sepele.

Suroso menceritakan, Wisnu memelihara ayam pada 2016. Saat itu, M bersama suaminya sering menginjak tahi ayam saat melewati jalanan di depan rumah Wisnu.

Karena kesal, M membangun pagar tembok di depan rumah Wisnu pada 2017.

Permasalahan telah coba diselesaikan oleh pemerintah desa dengan memediasi kedua pihak, namun masalah tidak kunjung usai dan hingga kini, Wisnu masih harus melompati tembok itu untuk masuk rumahnya.

Mengapa masalah yang terlihat sepele bisa menjadi besar di desa? Apakah hal itu disebabkan oleh pola interaksi sosial masyarakat desa?

Solidaritas mekanis

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono mengatakan, ada pola interaksi sosial yang berbeda antara masyarakat desa dengan masyarakat kota.

Pada masyarakat kota, secara sosiologis, pola interaksi mereka disebut dengan solidaritas organik. Hal itu berarti interaksi antar masyarakat kota didasarkan atas peran dan fungsi yang diemban oleh masing-masing anggota masyarakat.

"Contohnya saat saya mengajar di kelas kepada mahasiswa. Setelah mengajar ya fungsi saya selesai, artinya hubungan saya dan mahasiswa hanya didasarkan pada fungsi saya sebagai pengajar," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (25/7/2020).

Sementara itu, pada masyarakat desa pola yang mereka miliki berbeda. Drajat menjelaskan hal itu dengan istilah solidaritas mekanis, atau didasarkan pada perasaan dan tidak melihat fungsi atau peran.

"Karena hal itu, maka orang-orang di desa saling kenal dan juga merasa saling memiliki. Dalam hal penyelesaian masalah, mereka juga memiliki cara yang berbeda dengan orang kota," kata Drajat.

Ia mencontohkan pada kasus tabrakan motor. Di kota, masalah bisa selesai ketika penabrak dan yang ditabrak sepakat untuk melakukan ganti rugi.

Namun, pada masyarakat desa hal yang sama bisa tidak berlaku. Sanksi atau hukuman ketika terjadi masalah biasanya termasuk pengucilan dan kadang melibatkan tindakan represif.

"Misal, kalau ayam tetangga menotol (makan) beras milik tetangganya, masalah tidak akan diselesaikan dengan mengganti rugi beras yang dimakan itu, tapi bisa jadi yang punya rumah akan membentengi rumahnya agar hal itu tidak terjadi lagi," kata Drajat.

Faktor lain

Pada kasus yang dialami Wisnu, Drajat menduga bahwa pemicunya bukan sekadar perkara tahi ayam. Menurutnya, merujuk pada konsep solidaritas mekanis tadi, pemasangan tembok yang dilakukan oleh M bisa jadi didasari oleh sejumlah faktor.

"Dalam sejarah hubungan mereka, bisa jadi ada masalah-masalah yang tidak terselesaikan. Karena memang kalau di desa itu, tidak diupayakan untuk diselesaikan. Misal, kalau saya nggak cocok sama orang itu ya saya diam saja," kata Drajat.

Berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat kota. Ketika terjadi masalah, mereka akan menemui lembaga yang berwenang untuk mengurus masalah tersebut, misal kepolisian.

"Saya yakin itu ada masalah yang panjang. Komunikasi yang sudah terputus. Kadang juga ada masalah keluarga," kata Drajat.

Kasus ini sendiri sempat dibawa hingga ke tingkat pengadilan. Pengadilan memenangkan Wisnu karena dirugikan atas pembangunan pagar tembok setinggi satu meter itu.

Kepala Desa juga telah memberikan surat dari pengadilan kepada M, tetapi tetap saja tak ada tindakan pembongkaran pagar. 

Libatkan sesepuh desa

Menurut Drajat, penyelesaian masalah di desa lebih afdol bila melibatkan bantuan dari sesepuh atau orang yang dituakan di desa itu.

Meski dalam kasus ini Kepala Desa sudah turun tangan, namun Drajat menyebut yang lebih tepat adalah meminta bantuan pada kamituwo, sesepuh atau kepala dusun, di daerah lain mungkin disebut ketua adat.

Dengan kehadiran orang yang dituakan ini, maka mediasi bisa dimulai dengan menelusuri kembali jejak permasalahan antar dua keluarga hingga kemudian timbul kasus pemasangan tembok itu.

Setelah permasalahan terurai, maka solusi yang memuaskan kedua belah pihak bisa dicapai.

"Kalau di desa, dalam konsep solidaritas mekanis, orang tua itu penting. Kalau di organik, bukan orang tua yang penting, tapi lembaga-lembaga yang berwenang itu yang penting," kata Drajat. 

https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/25/131000265/solusi-kasus-bangun-tembok-karena-kotoran-ayam-ini-saran-sosiolog

Terkini Lainnya

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

Tren
Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Tren
Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Tren
Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Tren
Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Tren
Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Tren
Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Tren
Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Tren
La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

Tren
Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Tren
Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Tren
Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Tren
Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Tren
Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke