Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Membuka Kembali Sekolah Tak Sesederhana seperti Membuka Shopping Mall..."

Kompas.com - 16/06/2020, 10:35 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana akan mulai membuka sekolah di zona hijau Covid-19 secara bertahap.

Sekolah yang pertama akan dibuka adalah tingkat menengah, SMP-SMA dan yang sederajat.

Dua bulan kemudian, disusul SD, SLB, dan sederajat. Terakhir, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Pembukaan sekolah itu akan diberi jeda antar-tingkatnya masing-masing 2 bulan.

Jika wilayah tetap  berstatus zona hijau, maka pembukaan bisa dilanjutkan. Akan tetapi, jika berubah menjadi zona kuning bahkan merah, maka proses harus diulang dari awal.

Baca juga: Pembukaan Sekolah di Zona Hijau Dimulai dari Jenjang SMA, PAUD Terakhir 

Tepatkah rencana pemerintah ini? Apakah dipastikan aman membuka kembali sekolah di zona hijau?

Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, ia tak setuju rencana tersebut. Menurut dia, perlu dilakukan tinjauan uang dan penundaan rencana pembukaan sekolah meskipun di zona hijau. 

Menurut Pandu, penggunaan istilah zonasi juga kurang tepat dalam pandemi Covid-19 ini.

"Penggunaan istilah zona itu sangat tidak tepat, bahkan menyesatkan. Karena penyebaran virus itu mengikuti pergerakan manusia yang tidak dibatasi oleh batas administratif," ujar Pandu, dihubungi Kompas.com, Selasa (16/6/2020) pagi.

Senada dengan Pandu, epidemiolog Indonesia yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Griffith University, Australia, Dicky Budiman, juga berharap ada penundaan pelaksanaan rencana tersebut.

"Secara umum saya masih berpendapat untuk sekolah harus ditunda aktivitas belajar-mengajar fisiknya sampai akhir tahun 2020," kata Dicky.

Menyoal status zona hijau

Mengenai zona hijau, ada hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, terkait status zona hijau yang disebut tidak bersifat final dan tidak mencerminkan kondisi saat itu.

"Sistem zonasi Covid-19 yang dimiliki satu daerah saat ini relatif belum bisa diandalkan betul secara data, mengingat data testing yang dilaporkan sebagian besar masih belum bersifat real time," kata Dicky.

"Banyak daerah yang tertunda hasil sampelnya karena keterbatasan kapasitas lab, bahkan bisa ribuan. Artinya, hasil yang diumumkan saat ini bukanlah tes yang dilakukan hari ini atau bahkan bukan juga yang kemarin. Hasil tesnya bisa yang seminggu lalu bahkan bisa lebih," lanjut dia.

Dengan demikian, zona hijau, kuning, dan merah yang dijadikan dasar keputusan membuka kembali sekolah dinilainya tidak bisa menjadi acuan karena bukan menunjukkan kondisi saat itu juga.

Dicky mengatakan, artinya, sekolah-sekolah yang berada di wilayah yang saat ini berstatus zona hijau, belum tentu 100 persen aman dari risiko keberadaan Covid-19.

Baca juga: Sekolah di Zona Hijau Bisa Dibuka Lagi, seperti Apa Kriteria Zona Hijau?

Kondisi psikis siswa

Ilustrasi siswaDOK. PIXABAY Ilustrasi siswa
Alasan kedua, kondisi psikis siswa-siswi yang harus terlebih dahulu dipersiapkan sebelum akhirnya kembali bersekolah.

Dicky menyebutkan, sebelum anak-anak dikembalikan ke sekolah, kondisi mentalnya harus dipastikan baik dan sehat.

Hal ini karena fakta yang terjadi di berbagai negara menunjukkan pandemi ini memiliki dampak psikologis terhadap anak-anak.

"Jangan disamakan respons mental anak dengan dewasa, mereka itu dalam kondisi belum tentu langsung siap masuk sekolah. Harus ada program transisi yang menyiapkan anak-anak secara mental, perilaku, dan fisiknya," jelas dia.

Dicky mencontohkan, seorang anak yang baru saja kehilangan anggota keluarga atau teman akibat virus corona. Kondisi ini tentu membutuhkan program dukungan tertentu.

"Itu sebabnya saya sampaikan (membuka kembali sekolah) tidak sesederhana seperti buka shopping mall," ujar Dicky.

Baca juga: Jika Zona Hijau Bulan Depan SMP-SMA Masuk, SD Masih September 2020

Interaksi di sekolah

Selain dua alasan di atas, ada hal yang juga harus dipahami sebelum memutuskan pembukaan kembali aktivitas belajar mengajar di sekolah.

Hal itu terkait interaksi yang terjadi di sekolah antara siswa dengan siswa atau guru dengan siswa, yang bisa saja ada yang memiliki riwayat sakit bawaan sehingga berisiko tinggi.

"Menyangkut kelompok usia anak, studi terbaru kasus Covid-19 pada anak menemukan potensi anak terinfeksi bukan hanya pada paru, tapi juga ginjalnya. Selain sebelumnya ada manifestasi multisistem inflmatory syndrome," kata Dicky.

Faktor lain yang harus dipertimbangkan, interaksi antar-penghuni sekolah yang terjadi di dalam kelas, laboratorium, perpustakaan, atau ruangan tertutup lainnya.

"Selain adanya kelompok anak dan dewasa di sana, juga karena interaksi ini terjadi di ruangan tertutup (indoor) yang secara teori dan fakta riset Covid-19, kondisi indoor jauh lebih berisiko dibanding outdoor," kata dia.

Diberitakan Kompas.com, Senin (15/6/2020), Mendikbud Nadiem Makarim menyebut keputusan ini diambil berdasarkan masukan dari para ahli dan pakar kesehatan, termasuk epidemiolog.

Namun, Dicky meminta data masukan dan saran pakar tersebut dibuka secara transparan.

"Saya berharap, siapa (ahli dan pakar) yang terlibat, hasil pertemuan dan rekomendasinya dibuka ke publik. Sehingga publik semakin yakin, termasuk saya, bahwa pertimbangan keputusan ini sudah matang," kata dia.

Baca juga: Sekolah Dibuka Lagi di Zona Hijau, Gugus Tugas Ingatkan Protokol Kesehatan

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Pandemi Covid-19. Arti Zona Merah, Oranye, Kuning, dan Hijau

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

Tren
Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Tren
Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Tren
Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Tren
Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Tren
Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Tren
Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Tren
Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Tren
La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

Tren
Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Tren
Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Tren
Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Tren
Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Tren
Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com