Dia menambahkan, di Jakarta jika mal kembali dibuka pasti akan ramai. Tak hanya di mal tapi juga di transportasi umum.
Sehingga perlu dipikirkan untuk menambah gerbong atau solusi lainnya.
Enny menyarankan agar pemerintah konsisten dengan kebijakannya. Pembukaan mal terlihat seperti aturan satu sisi.
Hal itu sama seperti pemerintah melarang mudik dan berkerumun, tapi pemerintah membuat konser, membuka jalur penerbangan, dan sebagainya.
"Jadi inkonsistensi kebijakan seperti ini yang menimbulkan kegaduhan dan tidak selesai-selesai kita mikirkan Covid-19 nya," kata Enny.
Baca juga: Indonesia Terserah, Kebijakan Plin-plan, dan Pembiaran Negara...
Menurut Enny, seharusnya sektor-sektor yang dibuka adalah sektor-sektor produksi terlebih dahulu, yaitu tempat bekerja. Misalnya seperti pabrik, kantor, dan sebagainya.
Hal itu agar masyarakat mempunyai penghasilan. Dengan penghasilan itulah mereka memiliki daya beli. Baru mal-mal dibuka.
Jika mal-mal dibuka dulu, sementara masyarakat belum punya daya beli, maka sama saja.
Selain itu, pembukaan mal tidak berarti akan berdampak pada masyarakat kecil. Hal itu karena mal-mal lebih menyasar kepada kalangan menengah ke atas.
Enny menduga yang diharapkan pemerintah adalah langsung ada dampak spending, konsumsi rumah tangga.
"Tapi yang menjadi persoalan yang mendorong konsumsi rumah tangga drop kan 40 persen terbawah yang kehilangan pekerjaan," tuturnya.
Sehingga menurut Enny, semestinya pembukaan bertahap dan kini belum saatnya membuka mal.
Baca juga: Video Viral Warga Berebut Masuk Mal, Psikolog: Banyak yang Sudah Sampai Titik Jenuh dan Bosan