Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelusuri Jejak Kembang Api dan Petasan Saat Datangnya Lebaran

Kompas.com - 23/05/2020, 13:00 WIB
Rizal Setyo Nugroho

Penulis

Sumber

KOMPAS.com - Salah satu yang menjadi ciri khas datangnya bulan Ramadhan dan Lebaran adalah adanya petasan dan kembang api.

Menyalakan kembang api dan petasan biasanya dilakukan petang dan malam hari, baik di kota maupun di desa. 

Sementara ketika datang Lebaran, jalan-jalan di desa biasanya penuh dengan serpihan kertas bekas ledakan petasan.

Bahkan pada tahun-tahun 60'an, petasan menjadi salah satu masalah nasional saat Ramadhan dan Lebaran sebab banyaknya jatuh korban.

Baca juga: Lima Kios Ludes Terbakar di Bekasi, Diduga akibat Petasan yang Dimainkan Anak-anak

Dilarang

Seperti diberitakan Harian Kompas 23 November 1967, Gubernur DKI Jakarta melarang membuat, menyimpan dan memperdagangkan mercon dan kembang api. Termasuk menyalakannya.

Hukuman pidana tindakan tersebut tercantum dalam Vuurwerkordonantia 1932 Stb 3 1932 No 143 jo Stbl 1933 no 9.

Kemudian pada 31 Desember 1968, dilaporkan 426 orang luka-luka dan 2 orang meninggal karena petasan saat menyambut Idul Fitri tahun itu.

Harian Kompas 24 November 1969 menulis, ada 172 korban luka karena petasan di Bandung saat bulan puasa baru berjalan 11 hari. Satu korban tewas dan tiga orang harus kehilangan beberapa jarinya karena ledakan petasan.

Awal mula petasan dan kembang api

Dikutip dari American Pyrotechnics Safety and Education Foundation, sekitar tahun 800 masehi, ahli kimia di China mencampurkan kalium nitrat, sulfur, arang, dan berhasil membuat mesiu mentah.

Para ahli kimia tersebut konon sedang berusaha menciptakan resep kehidupan abadi. Orang-orang China percaya bahwa ledakan bisa mengusir roh jahat.

Meskipun tujuan utama gagal, namun apa yang mereka ciptakan mampu mengubah dunia saat ini.

Baca juga: Kok Bisa Kembang Api Meledak dengan Warna Cantik?

Untuk menciptakan kembang api pertama di dunia ini, orang China membungkus mesiu ke dalam tunas bambu lalu melemparkannya ke dalam api sehingga menimbulkan ledakan kencang.

Setelah itu, kembang api berevolusi. Tunas bambu digantikan dengan tabung dari kertas. Namun, kali ini mereka tidak langsung melemparkan tabung ke dalam api, melainkan menggunakan kertas tisu sebagai sumbu.

Seorang warga menjalani ritual mandi dengan kembang api di Desa Fangshan, pesisir provinsi Fujian, China, Kamis (16/2/2017). Ritual unik tersebut dipercaya oleh penduduk setempat dapat membersihkan diri dari aura roh-roh jahat.AFP PHOTO / JOHANNES EISELE Seorang warga menjalani ritual mandi dengan kembang api di Desa Fangshan, pesisir provinsi Fujian, China, Kamis (16/2/2017). Ritual unik tersebut dipercaya oleh penduduk setempat dapat membersihkan diri dari aura roh-roh jahat.

Dilansir dari National Geographic (4/6/2019), Pada abad ke-10, orang-orang China mulai menyadari bahwa mereka dapat membuat bom dari mesiu. Mereka pun terbiasa melekatkan petasan ke panah sebelum menembak musuh.

Dua ratus tahun berikutnya, kembang api dikembangkan menyerupai roket: ia dapat dilepaskan ke area lawan tanpa menggunakan bantuan panah. Teknologi ini masih digunakan sampai sekarang–terutama saat acara pertunjukkan kembang api.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kapan Waktu Terbaik Minum Vitamin?

Kapan Waktu Terbaik Minum Vitamin?

Tren
Daftar Negara yang Mendukung Palestina Jadi Anggota PBB, Ada 9 yang Menolak

Daftar Negara yang Mendukung Palestina Jadi Anggota PBB, Ada 9 yang Menolak

Tren
Mengenal Como 1907, Klub Milik Orang Indonesia yang Sukses Promosi ke Serie A Italia

Mengenal Como 1907, Klub Milik Orang Indonesia yang Sukses Promosi ke Serie A Italia

Tren
Melihat Lokasi Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Jalur Rawan dan Mitos Tanjakan Emen

Melihat Lokasi Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Jalur Rawan dan Mitos Tanjakan Emen

Tren
Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Tren
Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni 'Atlantis yang Hilang' di Lepas Pantai Australia

Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni "Atlantis yang Hilang" di Lepas Pantai Australia

Tren
4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

Tren
Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Tren
Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Tren
8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

Tren
2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

Tren
Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com