Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menelusuri Jejak Kembang Api dan Petasan Saat Datangnya Lebaran

KOMPAS.com - Salah satu yang menjadi ciri khas datangnya bulan Ramadhan dan Lebaran adalah adanya petasan dan kembang api.

Menyalakan kembang api dan petasan biasanya dilakukan petang dan malam hari, baik di kota maupun di desa. 

Sementara ketika datang Lebaran, jalan-jalan di desa biasanya penuh dengan serpihan kertas bekas ledakan petasan.

Bahkan pada tahun-tahun 60'an, petasan menjadi salah satu masalah nasional saat Ramadhan dan Lebaran sebab banyaknya jatuh korban.

Dilarang

Seperti diberitakan Harian Kompas 23 November 1967, Gubernur DKI Jakarta melarang membuat, menyimpan dan memperdagangkan mercon dan kembang api. Termasuk menyalakannya.

Hukuman pidana tindakan tersebut tercantum dalam Vuurwerkordonantia 1932 Stb 3 1932 No 143 jo Stbl 1933 no 9.

Kemudian pada 31 Desember 1968, dilaporkan 426 orang luka-luka dan 2 orang meninggal karena petasan saat menyambut Idul Fitri tahun itu.

Harian Kompas 24 November 1969 menulis, ada 172 korban luka karena petasan di Bandung saat bulan puasa baru berjalan 11 hari. Satu korban tewas dan tiga orang harus kehilangan beberapa jarinya karena ledakan petasan.

Awal mula petasan dan kembang api

Dikutip dari American Pyrotechnics Safety and Education Foundation, sekitar tahun 800 masehi, ahli kimia di China mencampurkan kalium nitrat, sulfur, arang, dan berhasil membuat mesiu mentah.

Para ahli kimia tersebut konon sedang berusaha menciptakan resep kehidupan abadi. Orang-orang China percaya bahwa ledakan bisa mengusir roh jahat.

Meskipun tujuan utama gagal, namun apa yang mereka ciptakan mampu mengubah dunia saat ini.

Untuk menciptakan kembang api pertama di dunia ini, orang China membungkus mesiu ke dalam tunas bambu lalu melemparkannya ke dalam api sehingga menimbulkan ledakan kencang.

Setelah itu, kembang api berevolusi. Tunas bambu digantikan dengan tabung dari kertas. Namun, kali ini mereka tidak langsung melemparkan tabung ke dalam api, melainkan menggunakan kertas tisu sebagai sumbu.

Dilansir dari National Geographic (4/6/2019), Pada abad ke-10, orang-orang China mulai menyadari bahwa mereka dapat membuat bom dari mesiu. Mereka pun terbiasa melekatkan petasan ke panah sebelum menembak musuh.

Dua ratus tahun berikutnya, kembang api dikembangkan menyerupai roket: ia dapat dilepaskan ke area lawan tanpa menggunakan bantuan panah. Teknologi ini masih digunakan sampai sekarang–terutama saat acara pertunjukkan kembang api.

Simbol perayaan

Pada 1295, Marco Polo membawa kembang api dari China ke Eropa. Kemudian, sekitar abad ke-13, bubuk mesiu dan resep untuk menciptakannya pun tersebar di Eropa hingga Semenanjung Arab.

Menyebar melalui para diplomat, penjelajah dan misionaris Perancis.

Dari sana lah, Barat mulai mengembangkan mesiu menjadi senjata yang lebih kuat seperti meriam dan senapan.

Meski begitu, orang-orang Barat tetap mempertahankan ide orisinal kembang api dan menggunakannya saat perayaan.

Kembang api pertama di Kerajaan Inggris dinyalakan untuk merayakan pesta pernikahan Henry VII pada 1486.

Dari awalnya di China untuk meramaikan setiap hari besar dan hajatan, budaya menyalakan petasan tersebut juga akhirnya menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/23/130000165/menelusuri-jejak-kembang-api-dan-petasan-saat-datangnya-lebaran-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke