Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Nasib Penyehat Nusantara

Kompas.com - 13/05/2020, 10:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MPR RI masa Orba menetapkan khasiat jamu wajib dibuktikan secara ilmiah. Makna kata “ilmiah” tidak dijelaskan secara terperinci maka dengan sendirinya ditafsirkan sesuai kaidah peradaban Barat yaitu kaidah ilmu farmasi yang sebenarnya juga masih belum kunjung sempurna dibuktikan secara ilmiah.

Ilmu farmasi masih terus-menerus secara trial and error dikembangkan dengan harapan mendekati kesempurnaan.

Kata “mendekati” penting sebab pada hakikatnya manusia mustahil sempurna maka semua ilmu buatan manusia termasuk ilmu farmasi juga mustahil sempurna.

Di sisi lain secara lambat tapi pasti, nama jamu sengaja diganti dengan istilah yang (dianggap) lebih “ilmiah” seperti misalnya obat tradisional, herbal, fitofarmaka, terstandard dan anekaragam istilah bukan berakar pada peradaban Nusantara.

Dengan sendirinya nama jamu terpupus untuk kemudian lambat laun terlupakan oleh masyarakat yang memberhalakan keilmiahan.

Wajar ketika saya mulai berjuang mengupayakan pengakuan UNESCO terhadap jamu sebagai mahakarya peradaban Nusantara, bukan cuma ditertawakan namun bahkan dihujat sebagai ekstremis radikal yang berniat mempermalukan pamor peradaban Nusantara di khasanah mancanegara.

Penyehat Nusantara

“Mengilmiahkan” jamu dengan kaidah ilmu farmasi analog dengan “mengilmiahkan” mahakarya Ki Nartosabdho dengan kaidah diatonik Johann Sebastian Bach apalagi dodekafonik Arnold Schoenberg.

Setara “pengilmiahan” pemikiran Kejawen dengan kaidah pemikiran Desiderius Erasmus.

Sama halnya “mengilmiahkan” lezatnya gudeg dengan kaidah resep warisan Paul Bocuse.

Mengkhawatirkan nasib jamu masih belum lengkap sebab nasib para penyehat Nusantara ini juga perlu dikhawatirkan.

Para penyehat Nusantara juga terancam gelora semangat melanjutkan ketetapan MPR masa Orba untuk “mengilmiahkan” mahakarya peradaban Nusantara.

Kekhawatiran atas nasib para penyehat Nusantara bukan kekhawatiran saya pribadi yang bukan seorang penyehat Nusantara.

Kekhawatiran saya sekadar berdasar fakta bahwa para penyehat Nusantara telah menghadap Yang Terhormat Para Wakil Rakyat di gedung DPR RI untuk menyampaikan kekhawatiran atas masa depan nasib para penyehat Nusantara yang merasa terancam oleh beberapa pasal kebijakan yang tertuang di dalam rancangan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.

Niat baik

Demi tidak memperkeruh air yang sudah keruh, saya tidak berani melibatkan ke dalam polemik di luar kemampuan dan wewenang saya.

Apalagi dapat diyakini bahwa penyusunan PP 103 Tahun 2014 pasti berniat bukan negatif tetapi positif dan bertujuan bukan destruktif tapi konstruktif.

Mustahil ada yang tega memusnahkan mahakarya peradaban bangsanya sendiri. Mustahil ada yang sengaja berhasrat menyengsarakan para penyehat Nusantara.

Aneka jamu godog di Pasar JatinegaraKompas.com / Gabriella Wijaya Aneka jamu godog di Pasar Jatinegara

Insya Allah, para pihak yang berwenang menentukan kebijakan berkenan mendengar suara rakyat yang merasa terancam.

Ibarat seorang dokter yang dididik berdasar kaidah peradaban Barat, tidak ada salahnya mendengarkan keluhan pasien yang menjadi tanggung-jawab perawatan sang dokter.

Maka dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri memohon para beliau yang berwenang berkenan mendengarkan curhat kekuatiran para penyehat Nusantara sebelum resmi mengetok palu pengabsahan PP 103 Tahun 2014 untuk diejawantahkan menjadi kebijakan yang hukumnya wajib dipatuhi segenap pihak.

Digdaya melawan wabah

Saya yakin bahwa para beliau yang berwenang menentukan kebijakan pelayanan kesehatan Republik Indonesia sadar fakta sejarah bahwa para penyehat Nusantara sudah nyata berkarya sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.

Para penyehat masyarakat adat Nusantara telah mempersembahkan karsa dan karya pelayanan kesehatan jauh sebelum kaum penjajah menginjak-injakkan kakinya di persada Nusantara.

Sejak dahulu kala, para penyehat Nusantara sudah terbukti digdaya melawan wabah. Sejak dahulu kala, secara kondrati para penyehat Nusantara sudah menjadi bagian hakiki sistem pelayanan kesehatan Nusantara sebelum diambil alih oleh sistem pelayanan kesehatan Barat.

Maka, apabila diberi kesempatan, para penyehat Nusantara siap siaga ikut berperan-serta dalam perjuangan terpadu bangsa Indonesia melawan wabah virus Corona.

Manusia mustahil sempurna. Maka, mustahil pula rancangan PP 103 Tahun 2014 serta merta sempurna.

Pasti rancangan PP 1tersebut masih senantiasa bahkan niscaya bisa diupayakan agar lebih mendekati kesempurnaan.

Maka, marilah kita bersama berdoa memohon Yang Maha Kasih memberikan anugrah berkah kekuatan lahir batin kepada DPR sebagai lembaga legislatif dan pemerintah sebagai lembaga eksekutif beserta para profesional penyehat Nusantara yang tergabung di FIPTI dan ASPETRI untuk bermusyawarah-mufakat demi bergotong-royong lebih mendekatkan kebijakan yang terkandung di dalam rancangan PP 103 Tahun 2014 ke arah kesempurnaan. Amin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com