MPR RI masa Orba menetapkan khasiat jamu wajib dibuktikan secara ilmiah. Makna kata “ilmiah” tidak dijelaskan secara terperinci maka dengan sendirinya ditafsirkan sesuai kaidah peradaban Barat yaitu kaidah ilmu farmasi yang sebenarnya juga masih belum kunjung sempurna dibuktikan secara ilmiah.
Ilmu farmasi masih terus-menerus secara trial and error dikembangkan dengan harapan mendekati kesempurnaan.
Kata “mendekati” penting sebab pada hakikatnya manusia mustahil sempurna maka semua ilmu buatan manusia termasuk ilmu farmasi juga mustahil sempurna.
Di sisi lain secara lambat tapi pasti, nama jamu sengaja diganti dengan istilah yang (dianggap) lebih “ilmiah” seperti misalnya obat tradisional, herbal, fitofarmaka, terstandard dan anekaragam istilah bukan berakar pada peradaban Nusantara.
Dengan sendirinya nama jamu terpupus untuk kemudian lambat laun terlupakan oleh masyarakat yang memberhalakan keilmiahan.
Wajar ketika saya mulai berjuang mengupayakan pengakuan UNESCO terhadap jamu sebagai mahakarya peradaban Nusantara, bukan cuma ditertawakan namun bahkan dihujat sebagai ekstremis radikal yang berniat mempermalukan pamor peradaban Nusantara di khasanah mancanegara.
“Mengilmiahkan” jamu dengan kaidah ilmu farmasi analog dengan “mengilmiahkan” mahakarya Ki Nartosabdho dengan kaidah diatonik Johann Sebastian Bach apalagi dodekafonik Arnold Schoenberg.
Setara “pengilmiahan” pemikiran Kejawen dengan kaidah pemikiran Desiderius Erasmus.
Sama halnya “mengilmiahkan” lezatnya gudeg dengan kaidah resep warisan Paul Bocuse.
Mengkhawatirkan nasib jamu masih belum lengkap sebab nasib para penyehat Nusantara ini juga perlu dikhawatirkan.
Para penyehat Nusantara juga terancam gelora semangat melanjutkan ketetapan MPR masa Orba untuk “mengilmiahkan” mahakarya peradaban Nusantara.
Kekhawatiran atas nasib para penyehat Nusantara bukan kekhawatiran saya pribadi yang bukan seorang penyehat Nusantara.
Kekhawatiran saya sekadar berdasar fakta bahwa para penyehat Nusantara telah menghadap Yang Terhormat Para Wakil Rakyat di gedung DPR RI untuk menyampaikan kekhawatiran atas masa depan nasib para penyehat Nusantara yang merasa terancam oleh beberapa pasal kebijakan yang tertuang di dalam rancangan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.
Demi tidak memperkeruh air yang sudah keruh, saya tidak berani melibatkan ke dalam polemik di luar kemampuan dan wewenang saya.
Apalagi dapat diyakini bahwa penyusunan PP 103 Tahun 2014 pasti berniat bukan negatif tetapi positif dan bertujuan bukan destruktif tapi konstruktif.