Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Dilema Tenaga Medis: Kami Harus Bagaimana?

Kompas.com - 02/05/2020, 14:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: dr M Helmi MSc, SpAn, KIC, FISQua MARS

VIRUS CORONA kini menjadi perbincangan di semua kalangan. Sejak pertama kali mengonfirmasi kasus pertama Covid-19, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk menurunkan risiko paparan dan penyebaran virus corona semakin meluas.

Semua orang berisiko tertular dan menulari orang lain.

Upaya mewajibkan sekolah dan bekerja dari rumah juga perlu dievaluasi, untuk mengetahui apakah orang-orang disiplin untuk menjaga jarak, menghindari kerumunan, menggunakan masker, dan tak bertemu dulu dengan mereka yang tak serumah?

Survei daring

Penulis melakukan survei daring singkat terhadap 501 responden. Dari 501 responden survei ini, sebesar 23 persen responden dari Jakarta.

Hasilnya, didapatkan data bahwa lebih dari 99 persen responden mempunyai pengetahuan yang baik mengenai penularan Covid-19.

Sebesar 88 persen responden dari segala umur dan tingkat pendidikan mengaku telah mengetahui gejala Covid-19.

Sementara, lebih dari 99 persen mengetahui pentingnya memakai masker untuk mencegah penularan Covid-19.

Akan tetapi, pengetahuan tersebut tidak diaplikasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Petugas gabungan dari TNI, Polri, Polisi Pamong Praja dan Dishub DKI Jakarta melakukan imbauan kepada pengendara motor untuk dapat mematuhi penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di jalan Penjernihan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (13/4/2020). Imbauan ini dilakukan agar masyarakat menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama 14 hari, yang salah satu aturannya adalah pembatasan penumpang kendaraan serta anjuran untuk menggunakan masker jika berkendara.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Petugas gabungan dari TNI, Polri, Polisi Pamong Praja dan Dishub DKI Jakarta melakukan imbauan kepada pengendara motor untuk dapat mematuhi penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di jalan Penjernihan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (13/4/2020). Imbauan ini dilakukan agar masyarakat menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama 14 hari, yang salah satu aturannya adalah pembatasan penumpang kendaraan serta anjuran untuk menggunakan masker jika berkendara.
Dari survei yang sama, penulis mendapatkan informasi bahwa masyarakat cenderung memilih untuk datang ke rumah sakit jika sudah mempunyai gejala sesak berat.

Mungkinkah ini yang menyebabkan kematian pasien akibat Covid-19 cukup tinggi di Indonesia?

Proses memburuknya kondisi pasien Covid-19 berlangsung sangat cepat.

Hal ini memperkecil kesempatan untuk memberikan pertolongan terutama dengan kondisi keterbatasan sumber daya seperti alat pelindung diri, ruang isolasi, ventilator, dan lain-lain.

Hingga saat ini, belum ada data mengenai jumlah pasien yang tengah dalam kondisi kritis akibat Covid-19 di Indonesia, baik dalam status PDP atau positif Covid-19.

Dilema tenaga medis

Tenaga medis menghadapi dilema. Kami harus tetap bekerja di rumah sakit, dan masih harus pulang ke rumah bertemu keluarga dengan risiko menularkan virus kepada keluarga.

Tekanan ini tersebut ditambah dengan stigma masyarakat yang masih belum dapat menerima tenaga kesehatan untuk pulang ke rumah, kontrakan, atau kosnya.

Kami sudah stres dengan risiko tertular, stres dengan risiko menularkan, dan stres dengan stigma masyarakat yang menyudutkan.

Saya kemudian menyadari, mengapa tenaga kesehatan, terutama yang berhubungan langsung dengan pasien Covid-19 tidak dikarantina?

Jawabannya mungkin karena beberapa faktor.

Pertama, jumlah tenaga kesehatan saat ini kurang mencukupi untuk melayani kasus biasa. Dengan adanya Covid-19, semakin sedikit tenaga kesehatan yang bersedia untuk berisiko melayani pasien infeksi virus corona.

Faktor kedua, mungkin karena alasan biaya. Jika ada tempat karantina, siapa yang akan membiayainya? Apakah rumah sakit bersedia?

Faktor ketiga, bisa jadi alasan pribadi dari tenaga kesehatan (terutama dokter) yang sebagian besar dengan status tenaga kontrak (mitra kerja). Jika menjalani karantina, maka tenaga kesehatan tersebut tidak dapat memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Survei terhadap tenaga kesehatan

Warga menyambut kedatangan Dian Sari Maharani, tenaga medis di RSUD dr. Iskak Tulungagung yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19 di kampung asalnya, Desa Tunggangri, Tulungagung, Jawa Timur, Kamis (23/4/2020). Dukungan itu diberikan warga setempat untuk menyemangati para tenaga medis lain yang terpapar COVID-19 dan masih berjuang untuk sembuh. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/aww.ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko Warga menyambut kedatangan Dian Sari Maharani, tenaga medis di RSUD dr. Iskak Tulungagung yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19 di kampung asalnya, Desa Tunggangri, Tulungagung, Jawa Timur, Kamis (23/4/2020). Dukungan itu diberikan warga setempat untuk menyemangati para tenaga medis lain yang terpapar COVID-19 dan masih berjuang untuk sembuh. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/aww.
Dari survei daring singkat yang dilakukan oleh penulis kepada 405 responden tenaga kesehatan di Indonesia, sebesar 71 persen responden menyebutkan tidak ada anjuran untuk melakukan karantina oleh rumah sakit meskipun mereka telah melakukan kontak langsung dengan pasien dalam pengawasan (PDP) maupun positif Covid-19.

Sementara, 50 persen responden mengaku bersedia melakukan karantina dengan sistem dan perlindungan yang baik.

Akhir-akhir ini, ada beberapa isu tentang risiko penularan virus Covid-19 oleh tenaga kesehatan yang pulang ke tempat tinggalnya.

Bahkan, ada berita tentang seorang istri dan dua anaknya diduga tertular Covid-19 melalui virus yang ada di baju ayahnya yang bekerja di rumah sakit.

Menurut penulis, kesimpulan ini terlalu prematur dan cenderung menambah tekanan bagi tenaga kesehatan.

Apakah isu tentang penyebaran melalui baju sang ayah ini telah dikonfirmasi?

Bukankah sudah dijelaskan secara resmi bahwa virus tersebut tidak dapat bertahan terlalu lama di luar tubuh?

Apakah masyarakat mengetahui bahwa tenaga medis yang bekerja di rumah sakit selalu mengganti bajunya sebelum dan sesudah melakukan aktivitasnya? Tahukah bahwa kami selalu mandi setelah melepas hazmat?

Apakah masyarakat tahu bahwa tenaga kesehatan selalu memakai masker minimal satu lapis, dan akan menambah lapisannya setiap risiko paparan meningkat?

Bahkan, banyak tenaga medis yang membawa masker sendiri agar masker yang dipakai di rumah sakit menjadi berlapis.

Kenapa tidak dicurigai kejadian penularan tersebut akibat dari kegiatan sosial yang dilakukan oleh ibu atau anak-anaknya yang positif tersebut? Bagaimana kehidupan sosial mereka sehari-hari?

Jujur, kami bingung, harus bagaimana?

Kami sangat ingin menolong, bahkan sebagian dari kami bersedia untuk tidak dibayar. Kami ingin masalah ini segera berakhir.

Tetapi, kondisi kami seakan kian terpojok dengan aktivitas yang kami lakukan. Kami harus bagaimana?

Kami hanya bisa berharap ada skema yang baik tentang pola kerja yang aman untuk tenaga kesehatan baik dalam hal sistem kerja, beban kerja, termasuk perlindungan kesehatan dan finansial.

Benar, ada insentif untuk tenaga medis yang melayani Covid-19. Tetapi, untuk yang mereka bekerja di mana?

Kami juga berharap ada dukungan dari masyarakat, terutama media yang mendukung kerja tenaga medis sehingga dapat tetap bekerja dengan baik. 

Yakinlah, semua pasti akan dapat kita lalui bersama. Catatannya, kita mau bekerja bersama, disiplin, dan saling mendukung. Tuhan memberkati kita semua.

dr M Helmi MSc, SpAn, KIC, FISQua MARS
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Tren
Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Tren
Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Tren
Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Tren
Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Tren
Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Tren
3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Tren
Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Tren
'Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... '

"Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... "

Tren
Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Tren
Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain'

Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain"

Tren
Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Tren
Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Tren
Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com