Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pandemi Corona Berikan 3 Efek Psikologis Bagi Seseorang, Apa Saja?

Kompas.com - 14/04/2020, 20:37 WIB
Retia Kartika Dewi,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2 dilaporkan pertama kali muncul pada Desember 2019. Virus yang menyebabkan gangguan pernafasan itu kini menyebar ke hampir semua negara di dunia.

Tiga bulan setelah laporkan pertama di Wuhan, China, virus itu telah menjangkit di Indonesia.

Melihat sebaran virus corona, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi global.

Di Indonesia sendiri, sudah lebih dari sebulan melaporkan adanya kasus virus corona Covid-19 setelah pasien 1 dan 2 diumumkan pada 2 Maret 2020.

Sebagai upaya menghentikan laju penyebaran virus, masyarakat diminta berdiam di rumah dan mengurangi kegiatan di luar rumah. Membatasi pertemuan dan hanya tinggal di rumah dalam waktu lama tentu berpengaruh pada kesehatan mental.

Baca juga: Mengenal Apa Itu PSBB, Aturan, Daerah yang Menerapkan hingga Sanksinya

3 efek pandemi corona

Psikolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Laelatus Syifa mengungkapkan, kondisi pandemi virus corona ini memberikan tiga efek psikologis bagi seseorang, yakni krisis, uncertainty (ketidakpastian), dan loss of control.

"Untuk efek krisis ditandai dengan datang mendesak secara tiba-tiba tanpa persiapan, dan memiliki efek negatif yang menekan," ujar Latus saat dihubungi Kompas.com pada Selasa (14/4/2020).

Kemudian, untuk efek ketidakpastian, umumnya dirasakan seseorang dengan kekhawatiran kapan kondisi ini akan berakhir, kapan bisa kembali bekerja di perkantoran atau bertemu dengan banyak orang atau sanak saudara kembali.

Sedangkan untuk efek "loss of control", Latus mengungkapkan, orang hanya dapat melihat atau mendengar tanpa bisa melakukan hal apa pun.

"Permisalan dari efek loss of control ini adalah kita bisa melihat bahwa angka kematian terus naik, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Latus.

Dia menambahkan, kondisi ini memicu munculnya stres. Semakin tinggi stres seseorang, maka semakin besar seseorang untuk tidak patuh terhadap aturan.

Sementara itu, munculnya stres juga dapat diakibatkan dari faktor perekonomian, urusan keluarga di mana kondisi ini pun cenderung membuat seseorang tidak mau mematuhi aturan.

Baca juga: Viral, Aksi Donasi dan Berbagi 300 Nasi Kepal Setiap Hari untuk Pekerja Jalanan

Ketidakpercayaan

Diketahui, pemerintah telah berupaya melakukan pencegahan penularan virus corona dengan langkah PSBB dan meminta masyarakat untuk tidak mudik, serta tetap menjaga jarak antar-manusia.

"Tetapi masyarakat yang merasa sudah tidak punya penghasilan lagi dan kehidupannya tidak disokong, maka stres ini membuat mereka memilih untuk mencari tempat aman karena efek 'úncertainty', mengenai ketidakjelasan nasibnya," ujar Latus.

Contoh untuk "loss of control", Latus menyampaikan ketika warga tidak bisa melakukan apa pun dengan angka penambahan kasus Covid-19 di Indonesia. Sebab kondisi tersebut dinilai terjadi di luar kendali.

"Oleh karena itu mereka mencoba mengambil alih kontrol dengan perilaku yang bisa mereka kendalikan, misal panic buying atau pulang kampung (perilaku yang bisa mereka lakukan dan membuat diri sendiri merasa aman)," terang Latus.

Selain itu, faktor demografi juga berpengaruh, seperti budaya disiplin di Indonesia.

Sebagai makhluk komunal, setiap manusia cenderung untuk bersosialisasi dengan individu lain.

Baca juga: Virus Corona di Indonesia: 399 Kasus Baru pada 12 April, Penambahan Tertinggi Sejak 2 Maret 2020

Sementara, jika aturan work from home (WFH) diterapkan terlalu lama, maka akan menimbulkan rasa bosan dan memantik stres.

Latus menyampaikan, perasaan tidak aman terhadap perekonomian membuat stres, aturan pemerintah yang tidak jelas, dan dinilai kurang "mengayomi" pun membuat stres masyarakat.

"Akhirnya banyak yang mengambil tindakan sendiri yang membuat individu merasa lebih aman dan nyaman," lanjut dia.

Kepercayaan yang keliru

Namun, rasa ketidakpatuhan ini ada yang tidak disebabkan oleh pikiran stres, melainkan karena mereka memiliki kekeliruan kepercayaan.

"Ada individu yang memiliki belief yang keliru, pengelolaan informasi yang salah, misalnya merasa bahwa mati adalah urusan Tuhan. Mereka juga tipe-tipe yang masuk dalam jajaran tidak patuh pada aturan," ujar Latus.

Bagaimana mengatasinya?

Agar dapat mengendalikan kondisi di tengah pandemi, menurut Latus, bisa dengan adanya aturan yang tegas, reward dan punishment yang jelas dapat mengatur masyarakat agar patuh terhadap aturan pencegahan dari pemetintah.

Dia mengatakan, jika usaha tersebut direalisasikan, maka aturan itu akan sama-sama menguntungkan bagi pemerintah dan masyarakat.

Tetapi, apabila realitasnya berkebalikan, maka akan terjadi pelanggaran.

"Kalau aturannya jelas, tapi menimbulkan stres atau tekanan bagi masyarakat (karena kehidupan tidak disokong), maka akan terjadi pelanggaran," ujar Latus.

Sejauh ini, jumlah kasus infeksi virus corona di Indonesia telah mencapai 4.839 kasus.

Dari angka tersebut, dilaporkan sebanyak 426 orang sembuh, sementara 459 orang meninggal dunia.

Baca juga: Stop Panik Membeli, Jaga Sistem Imun dengan Makanan Sehat untuk Cegah Virus Corona

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com