Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Salah Kaprah Stigmatisasi dan Diskriminasi terhadap Pasien Covid-19

Kompas.com - 13/04/2020, 16:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun di sisi lain, perlu dipikirkan juga apakah proteksi tersebut harus dilakukan dengan cara stigmatisasi dan berperilaku diskriminasi yang bahkan pada akhirnya berakhir pada kekerasan.

Bukankah seharusnya cobaan Covid-19 ini seharusnya menyatukan seluruh aspek masyarakat Indonesia alih-alih justru memecah-belah bangsa?

Sebuah penelitian World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa stigmatisasi pada pasien penyakit tertentu dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada pasien.

Dampak itu bisa berupa isolasi sosial, kehilangan akses hak hidup dan tinggal, bahkan depresi. Dampak-dampak tersebut akan menghambat penyembuhan diri pasien.

Bukan tidak mungkin hal ini juga dapat terjadi pada para pasien Covid-19 yang menerima stigmatisasi dan perilaku diskriminasi.

Alih-alih sembuh, pasien justru dapat mengalami depresi karena mengetahui, bahkan menerima sendiri, berbagai diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat pada PDP dan ODP Covid-19.

Hal yang sama juga dapat terjadi pada para tenaga medis yang mengalami perilaku diskriminasi di tempat mereka tinggal.

Alih-alih mendapat dukungan masyarakat karena mempertaruhkan jiwa dan raga mereka untuk berada di garda terdepan merawat para pasien Covid-19, beberapa dari mereka justru mendapat perilaku diskriminasi dengan pengusiran dari tempat mereka tinggal.

Padahal, mereka tentu memerlukan istirahat yang cukup karena sudah berhari-hari berjaga dan bertugas di rumah sakit.

Penolakan akan membuat beberapa dari mereka "terpaksa" kembali bermalam di rumah sakit, sehingga sangat berisiko bagi kualitas kesehatan diri mereka sendiri.

Baldwin, M (2016) dalam bukunya menyebutkan beberapa alasan mengapa stigmatisasi dapat terjadi pada orang-orang dengan penyakit tertentu berikut ini.

1. Resposibility control of their illness

Penelitian Baldwin menunjukkan bahwa stigmatisasi biasanya cenderung akan muncul pada pasien dengan tingkat kontrol rendah atas penyakit yang dideritanya.

Semakin rendah seorang pasien dapat mengendalikan kesembuhan diri dari penyakit yang dideritanya, semakin tinggi kemungkinan ia menerima stigmatisasi dan perilaku diskriminasi dari lingkungannya.

2. Uncertainty ilness healing time

Faktor lain yang dinilai memengaruhi ada atau tidaknya stigmatisasi adalah tingkat kepastian berapa lama penyakit yang dideritanya akan sembuh.

Memang benar masa inkubasi Covid-19 adalah 14 hari, namun tidak menjamin bahwa seseorang yang sudah sembuh dari Covid-19 tidak akan tertular kembali.

3. Faktor tidak terduga dari penyebaran penyakit

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Tren
Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Tren
Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Tren
Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Tren
Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Tren
Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Tren
3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Tren
Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Tren
'Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... '

"Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... "

Tren
Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Tren
Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain'

Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain"

Tren
Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Tren
Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Tren
Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com