Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Salah Kaprah Stigmatisasi dan Diskriminasi terhadap Pasien Covid-19

Kompas.com - 13/04/2020, 16:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Annisa Rizkiayu, S.Psi, M.Psi, Psikolog

PENYEBARAN Covid-19 tidak hanya menjadi sebuah persoalan kesehatan semata. Karena begitu masif penyebarannya, hal itu telah menimbulkan persoalan lain pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti persoalan ekonomi, politik, pertahanan, keamanan, sosial dan bahkan budaya.

Tanpa kita sadari, perubahan pada berbagai aspek tersebut turut mengubah perilaku masyarakat di seluruh dunia, termasuk dalam hal ini cara pandang antarsesama manusia.

Perubahan perilaku dan cara pandang antarsesama manusia juga terjadi di Indonesia sebagai dampak pandemi Covid-19.

Di Indonesia, jumlah pasien positif virus corona kian meningkat dari hari ke hari. Hingga 12 April 2020, jumlah kasus Covid-19 sudah mencapai 4.421 kasus dengan jumlah pasien meninggal dunia mencapai 359 pasien.

Angka tersebut cukup besar. Dengan jumlah pasien meninggal tersebut, case fatality rate (CFR) atau rasio kematian pasien Covid-19 di Indonesia mencapai 9,11 persen.

Penambahan jumlah pasien Covid-19 inilah yang pada akhirnya memunculkan kecemasan di masyarakat.

Hal itu juga memunculkan berbagai stigma negatif masyarakat pada pasien maupun orang-orang dengan risiko tinggi terpapar Covid-19, seperti pada profesi dokter, perawat, dan pengemudi ojek online.

Stigma sendiri didefinisikan pada penilaian lingkungan kepada suatu individu atau kelompok tertentu. Penilaian yang diberikan seringkali merupakan penilaian negatif.

Stigma yang melekat pada seseorang atau sekelompok orang tertentu seringkali membuat penerima stigma menerima perlakuan diskriminatif dari kelompok mayoritas, sehingga mereka merasa tertolak oleh lingkungannya.

Hal ini juga terjadi di Indonesia seperti yang kita baca melalui social media akhir-akhir ini. Perlakuan diskriminatif kerap diterima oleh para pasien dalam pengawasan (PDP) maupun orang dalam pengawasan (ODP) Covid-19.

Saat pemerintah mengumumkan pasien 01 dan 02 Covid-19 di Indonesia, misalnya. Saat itu kepanikan masyarakat mengakibatkan informasi data pribadi pasien tersebut viral menyebar ke mana-mana sebagai dampak dari era digitalisasi.

Tanpa terlebih dahulu mengecek kebenaran atas informasi yang mereka terima, masyarakat seringkali menyimpulkan berbagai stigma negatif kepada pasien 01 dan 02.

Hal ini menimbulkan trauma tersendiri bagi keluarga pasien. Ini juga dialami tetangga satu kompleks pasien tersebut, yang dinilai sebagai ODP karena berada pada lingkungan tempat tinggal yang sama dengan pasien 01 dan 02.

Tidak berhenti pada satu kasus tersebut, akhir-akhir ini kasus stigmatisasi dan perilaku diskriminasi pada PDP dan ODP Covid-19 kian marak bermunculan.

Contohnya penolakan seorang perawat di indekos tempat ia tinggal karena perawat tersebut bekerja di RS yang menerima pasien Covid-19. Yang paling ekstrem adalah penolakan pemakaman jenazah korban Covid-19 oleh sejumlah warga desa.

Tidak hanya sekadar menolak, warga bahkan melakukan pelemparan batu kepada para petugas medis yang bertugas membawa jenazah korban Covid-19 dengan ambulans.

Peristiwa ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Kelompok masyarakat pro menilai stigmatisasi dan perilaku diskriminasi tersebut adalah hal manusiawi sebagai bentuk proteksi warga atas kampungnya.

Namun di sisi lain, perlu dipikirkan juga apakah proteksi tersebut harus dilakukan dengan cara stigmatisasi dan berperilaku diskriminasi yang bahkan pada akhirnya berakhir pada kekerasan.

Bukankah seharusnya cobaan Covid-19 ini seharusnya menyatukan seluruh aspek masyarakat Indonesia alih-alih justru memecah-belah bangsa?

Sebuah penelitian World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa stigmatisasi pada pasien penyakit tertentu dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada pasien.

Dampak itu bisa berupa isolasi sosial, kehilangan akses hak hidup dan tinggal, bahkan depresi. Dampak-dampak tersebut akan menghambat penyembuhan diri pasien.

Bukan tidak mungkin hal ini juga dapat terjadi pada para pasien Covid-19 yang menerima stigmatisasi dan perilaku diskriminasi.

Alih-alih sembuh, pasien justru dapat mengalami depresi karena mengetahui, bahkan menerima sendiri, berbagai diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat pada PDP dan ODP Covid-19.

Hal yang sama juga dapat terjadi pada para tenaga medis yang mengalami perilaku diskriminasi di tempat mereka tinggal.

Alih-alih mendapat dukungan masyarakat karena mempertaruhkan jiwa dan raga mereka untuk berada di garda terdepan merawat para pasien Covid-19, beberapa dari mereka justru mendapat perilaku diskriminasi dengan pengusiran dari tempat mereka tinggal.

Padahal, mereka tentu memerlukan istirahat yang cukup karena sudah berhari-hari berjaga dan bertugas di rumah sakit.

Penolakan akan membuat beberapa dari mereka "terpaksa" kembali bermalam di rumah sakit, sehingga sangat berisiko bagi kualitas kesehatan diri mereka sendiri.

Baldwin, M (2016) dalam bukunya menyebutkan beberapa alasan mengapa stigmatisasi dapat terjadi pada orang-orang dengan penyakit tertentu berikut ini.

1. Resposibility control of their illness

Penelitian Baldwin menunjukkan bahwa stigmatisasi biasanya cenderung akan muncul pada pasien dengan tingkat kontrol rendah atas penyakit yang dideritanya.

Semakin rendah seorang pasien dapat mengendalikan kesembuhan diri dari penyakit yang dideritanya, semakin tinggi kemungkinan ia menerima stigmatisasi dan perilaku diskriminasi dari lingkungannya.

2. Uncertainty ilness healing time

Faktor lain yang dinilai memengaruhi ada atau tidaknya stigmatisasi adalah tingkat kepastian berapa lama penyakit yang dideritanya akan sembuh.

Memang benar masa inkubasi Covid-19 adalah 14 hari, namun tidak menjamin bahwa seseorang yang sudah sembuh dari Covid-19 tidak akan tertular kembali.

3. Faktor tidak terduga dari penyebaran penyakit

Ketidakpastian faktor penyebab penyebaran penyakit yang diderita. Minimnya penelitian atas faktor penyebaran penyakit yang diderita turut bersumbangsih atas ada atau tidaknya stigma yang dilekatkan pada pasien.

Pada kasus Covid-19, tingkat kecemasan masyarakat kian meningkat manakala munculnya informasi bahwa transmisi penyakit dapat terjadi melalui udara (airbone transmition), bukan hanya melalui percikan cairan tubuh pasien (droplet transmition). Namun, penelitian lebih lanjut masih dilakukan atas informasi transmisi tersebut.

4. Minimnya informasi masyarakat atas penyakit

Informasi masyarakat atas penyebaran, pencegahan, maupun penyembuhan penyakit adalah faktor terakhir yang dinilai cukup signifikan atas adanya stigamatisasi dan perilaku diskriminasi kepada pasien Covid-19.

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, perlu lebih meningkatkan informasi terkait penyebaran dan pencegahan Covid-19 kepada masyarakat.

Dengan begitu, stigmatisasi yang berujung pada perilaku diskriminasi kepada ODP maupun PDP Covid-19 tidak terjadi.

Beberapa langkah yang cukup baik sudah dilakukan Kementerian Dalam Negeri. Menteri Dalam Negeri beserta sejumlah pejabat terkait, seperti Kepala Polri dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah mengeluarkan respons terkait fenomena ini.

Mereka telah menyatakan bahwa tindakan penolakan pemakaman jenazah Covid-19 tidak dibenarkan dan tidak berdasar. Karena, prosedur pemakaman jenazah tersebut telah memenuhi protokol pemulasaran jenazah yang dikeluarkan WHO sehingga tidak akan menularkan warga yang tinggal di area sekitar pemakaman.

Begitu juga dengan penolakan petugas medis di sejumlah indekos atau kontrakan. Jelas sekali bahwa perilaku tersebut tidak dapat dibenarkan dan tidak memiliki alasan yang mendasar, sebab para petugas medis bertugas dengan dilengkapi alat pelindung diri (APD) dan berbagai protokol penanganan kesehatan yang ketat.

Sehingga, transmisi Covid-19 di lingkungan tempat ia tinggal berisiko minim dan perilaku diskriminasi yang dilakukan masyarakat tempat ia tinggal tidaklah berdasar.

Perilaku diskriminasi tersebut hanyalah merupakan bentuk stigmatisasi semata sebagai bentuk kecemasan masyarakat atas penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Untuk itu, edukasi masyarakat melalui sosial media berperan penting dalam menghapus stigmatisasi dan perilaku diskriminasi pada ODP dan PDP Covid-19.

Ke depan, pemerintah perlu lebih banyak merangkul berbagai tokoh masyarakat dan influencer untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai apa dan bagaimana transmisi Covid-19 dapat terjadi.

Selain itu, pemerintah juga perlu untuk lebih melibatkan universitas dan para peneliti kesehatan untuk lebih memperbanyak penelitian mengenai bagaimana proses transimisi Covid-19 beserta cara pengobatannya.

Hal itu perlu untuk menekan kecemasan dan memunculkan optimisme masyarakat bahwa wabah ini dapat berakhir dan disembuhkan.

Annisa Rizkiayu, S.Psi, M.Psi, Psikolog
Pengamat kebijakan publik, dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com