Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penolakan Jenazah Pasien Covid-19, Mengapa Bisa Terjadi?

Kompas.com - 13/04/2020, 11:08 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penolakan terhadap pemakaman jenazah pasien positif Covid-19 terjadi di sejumlah daerah.

Terakhir, jenazah seorang perawat RSUP dr Kariadi Semarang yang meninggal dunia karena terinfeksi virus corona ditolak oleh warga untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sewakul di RT 06, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.

Peristiwa ini semakin menambah keprihatinan di tengah perjuangan semua orang melawan virus corona.

Ada stigma yang berkembang terhadap penderita Covid-19 atau bahkan mereka yang berada di garis depan menangani pasien virus corona.

Alasannya, khawatir menjadi sumber penyebaran virus corona.

Baca juga: Jenazah Perawat RSUP dr Kariadi Semarang Ditolak Warga, Perawat Kenakan Pita Hitam 

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pun mengungkapkan keprihatinannya dan mengajak masyarakat berpikir jernih dan menggunakan rasa kemanusiaannya.

"Para perawat, dokter dan tenaga medis tidak pernah menolak pasien, kenapa kita tega menolak jenazah mereka?" kata Ganjar, seperti diberitakan Kompas.com, 11 April 2020.

"Saya ingin kembali mengajak Bapak Ibu untuk ngrogoh roso kamanungsan (membangkitkan rasa kemanusiaan) yang kita miliki," kata dia.

Kementerian Kesehatan sudah menerapkan prosedur pengurusan jenazah sehingga dipastikan aman dan tidak akan menyebarkan virus.

Tindakan penolakan jenazah pasien Covid-19 ini menimbulkan pertanyaan, apa yang terjadi dengan masyarakat kita?

Baca juga: INFOGRAFIK: Protokol Pengurusan Jenazah Pasien Covid-19

Pemahaman yang salah dan ketakutan berlebihan

Aksi solidaritas keprihatinan penolakan jenazah perawat RS Kariadi Semarangscreenshoot Aksi solidaritas keprihatinan penolakan jenazah perawat RS Kariadi Semarang
Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof. Koentjoro menilai, penolakan masyarakat karena adanya ketidakpahaman sehingga bertindak berlebihan hingga melebihi batas.

"Itu ada dua kemungkinan. Satu, keyakinan yang salah. Jadi mereka itu bahasa Jawanya sok keminter. Mungkin itu disebabkan hubungannya dengan rasa ketakutan yang berlebih, padahal semuanya itu tidak perlu," kata Koentjoro saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/4/2020).

Keberadaan para tenaga medis seharusnya dihormati dan diberikan apresiasi setinggi-tingginya, karena dalam kondisi seperti ini, mereka menjadi garda terdepan yang berhadapan dengan pasien virus corona.

"Kalau dalam agama, mereka mati syahid, mereka pejuang, tapi kok malah nasibnya seperti itu," ujar Koentjoro.

Ia mengatakan, ketakutan berlebihan seharusnya tak perlu terjadi karena semua tindakan yang diambil pasti sudah berdasarkan perhitungan yang matang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com