KOMPAS.com - Hand sanitizer menjadi salah satu barang yang paling diburu saat pandemi virus corona seperti saat ini.
Ketika H5N1 mewabah beberapa tahun lalu, hal yang sama juga terjadi.
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan, hand sanitizer dapat membantu mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19.
Jika sabun dan air tidak tersedia, CDC merekomendasikan penggunaan pembersih tangan atau hand sanitizer yang mengandung minimal 60 persen alkohol.
Sebagian besar pembersih tangan mengandung 60 persen hingga 95 persen isopropil atau etil alkohol yang dicampur dengan air dan gel (seperti glikol dan gliserin) untuk mencegah kulit penggunanya menjadi kering.
Hand sanitizer yang dijual di pasaran berbentuk gel atau cairan semprot.
Baca juga: Cegah Corona, Cuci Tangan dengan Sabun Lebih Baik dari Hand Sanitizer
Bagaimana sejarah hand sanitizer? Sejak kapan dipercaya dapat membunuh kuman, bakteri, dan virus?
Akan tetapi, asal-usul yang tepat mengenai hand sanitizer masih diperdebatkan.
Salah satu versi menyebutkan, penggunaan pertama hand sanitizer pada 1966.
Saat itu, seorang mahasiswa keperawatan di Bakersfield, California, Lupe Hernandez, menggabungkan alkohol dan gel.
Campuran itu digunakan para dokter sebelum merawat pasien ketika mereka tidak dapat mencuci tangan dengan sabun.
Akan tetapi, penelusuran yang baru-baru ini dilakukan oleh sejarawan Lembaga Smithsonian, Joyce Bedi, tidak menemukan jejak hand sanitizer buatan Hernandez karena tidak dipatenkan.
Selain itu, ada Sterillium yang menurut perusahaan Jerman Hartmann adalah “desinfektan tangan berbasis alkohol pertama di dunia” dengan gliserin dan alkohol 75 persen.
Ada juga yang menemukan hand sanitizer untuk pekerja pabrik karet yang dikembangkan pasangan Goldie dan Jerry Lippman pada 1946.