Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Beberapa Poin dalam RUU Ketahanan Keluarga yang Menuai Kritikan

Kompas.com - 26/02/2020, 15:30 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diajukan oleh DPR/DPD menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. 

Hal itu karena rancangan undang-undang tersebut terdapat sejumlah regulasi yang dinilai banyak mengatur ranah privat seseorang dalam hubungan berkeluarga.

Salah satunya poin yang mengatur tentang kewajiban suami dan istri dalam pernikahan. 

Sementara lembaga kajian independen dan advokasi International for Criminal Justice Reform (ICJR) memiliki beberapa pandangan soal RUU ini yang perlu dikritisi. Berikut beberapa di antaranya: 

1. Dinilai mengerdilkan peran agama

Menurut Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju, RUU Ketahanan Keluarga justru mengerdilkan peran agama dalam membimbing pembentukan fungsi keluarga yang dinamis.

Ia mencontohkan pada Pasal 16 ayat (1) yang menjelaskan kewajiban anggota keluarga untuk menaati perintah agama dan menjauhi larangan agama, menghormati hak anggota keluarga lainnya, melaksanakan pendidikan karakter dan akhlak mulia; serta mengasihi, menghargai, melindungi, menghormati anggota keluarga.

Atau contoh lain dalam Pasal 24 ayat (2) RUU ini menjabarkan kewajiban suami istri untuk saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

"Aturan semacam itu selama ini sudah diatur dalam setiap agama, diyakini dan dijalani oleh pemeluknya," ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (26/2/2020).

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Dianggap Terlalu Banyak Atur Ranah Etika

2. Diskriminasi gender

Selain itu dalam Pasal 2 huruf k RUU ini disebutkan ketahanan keluarga berasaskan non-diskriminasi, namun tidak tergambar dalam rumusan hak dan kewajiban suami istri dalam relasi perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 ayat (2) dan (3).

Di sana, kewajiban antara suami dan istri begitu jelas dibedakan. Suami memiliki kewenangan menyelenggarakan resolusi konflik dalam keluarga, sementara istri lebih ada di ranah domestik.

Ranah domestik itu misalnya wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik mungkin, menjaga keutuhan keluarga, serta memperlakukan suami dan anak dengan baik.

"Upaya-upaya pengarusutamaan gender justru dikerdilkan dengan pengaturan kewajiban istri hanya dalam ranah domestik. Pemerintah Indonesia akan gagal menjamin perempuan dan laki-laki memiliki akses terhadap pembangunan yang sama," jelasnya.

3. Dianggap menghina kelompok tertentu

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com