Selain itu, menurut dia, wajar pula jika ada istilah "aji mumpung" ketika melihat fenomena seperti ini.
"Aji mumpung itu terkait dengan lamanya jabatan gubernur dipegang. Nepotisme untuk mempromosikan kerabat di birokrasi hanya bisa dilakukan sewaktu dia menjabat sebagai gubernur saja," lanjut Dodi.
Pendapat yang hampir sama dilontarkan pengamat politik Ray Rangkuti.
Ray menilai, praktik seperti ini hampir terjadi di setiap level pemerintahan dan politik.
"Dulu telah pernah kita atur agar praktik seperti ini dicegah melalui ketentuan perundang-undangan. Namun ketentuan itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," ujar Ray saat dihubungi terpisah oleh Kompas.com pada Minggu (12/1/2020).
Ray mengatakan, pelarangan nepotisme politik sebenarnya sesuatu yang wajar dan menjadi bagian dari pembenahan sistem pemerintahan di era modern.
Oleh karena itu, praktik nepotisme melalui jabatan keluarga atau kerabat baik di politik maupun di pemerintahan kini masih terjadi.
Ia sendiri berpendapat bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip pengelolaan pemerintahan yang bersih, baik, dan akuntabel.
Menurut dia, jika praktik seperti ini semakin sering terjadi, seharusnya Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) meneruh perhatian.
"Apakah dalam proses rekrutmennya dilakukan dengan cara yang sesuai atau tidak," ujar Ray.
Ia juga mengingatkan masyarakat untuk kritis dan melakukan pengawasan, terutama jika ada indikasi nepotisme pada jajaran pemerintahan daerah.
"Tanpa kepedulian mereka (warga), praktik seperti ini akan bisa berjalan mulus dan terus menerus. Warga harus proaktif jika memang memandang ada sesuatu yang kurang tepat dalam proses pengelolaan pemerintahan," kata Ray.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.