Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pekerjaan Rumah untuk KPU Pasca-kasus Wahyu Setiawan

Kompas.com - 10/01/2020, 18:56 WIB
Nur Rohmi Aida,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mendukung penuh langkah KPK dalam membongkar kasus dugaan suap yang diduga melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Wahyu Setiawan ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024.

Penetapan tersangka dilakukan setelah Wahyu ditangkap dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT).

Menurut Titi, KPU perlu meyakinkan publik bahwa kasus yang menjerat Wahyu Setiawan adalah tindakan oknum dan kasus yang terkait KPU secara kelembagaan.

“Kekhawatiran terbesar adalah kasus WS ini akan dipakai untuk mendegradasi sistem demokrasi langsung, dengan mengait-ngaitkan ketidakcakapan KPU sebagai penyelenggara pemilu berintegritas,” kata Titi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (10/1/2020).

Baca juga: Wahyu Setiawan dan Catatan Kasus Korupsi yang Pernah Menjerat Komisioner KPU...

Ia menilai, KPU harus bersikap terbuka dan komunikatif kepada publik sehingga tak memunculkan spekulasi yang bisa mendelegitimasi KPU.

“Kita harus bedakan antara orang dan fungsi lembaganya. Tentu pembenahan dan pembersihan internal institusi mutlak dilakukan,” ujar dia.

Titi mengatakan, KPU sebaiknya belajar dari MK pasca-kasus yang terjadi pada Akil Mochtar, saat masih menjabat Ketua MK.

“MK setidaknya butuh dua tahun untuk kembali stabil secara kelembagaan. Dan tentu itu tidak mudah. Memerlukan komitmen utuh, konsisten, dan terus menerus dari jajaran KPU dalam hal ini, baik komisioner maupun sekretariat,” kata Titi.

Menurut dia, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan KPU.

Salah satunya, melakukan audit atas sistem integritas internal KPU. Selain itu, memastikan jajaran KPU di pusat maupun daerah bekerja profesional.

Baca juga: Komisionernya Ditangkap KPK, KPU Dinilai Perlu Whistleblower System

“KPU didorong membangun whistle blower system di kelembagaan KPU untuk memberi iklim yang kondusif bagi ekosistem antikorupsi dan iklim kontrol yang efektif di kelembagaan KPU,” ujar dia.

Titi juga menyarankan KPU untuk memperkuat budaya kerja yang terbuka, transparan, dan akuntabel dalam tata kelola internal KPU maupun dalam menyelenggarakan tahapan kepemiluan dan pilkada.

Sebelumnya, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Oce Madril mengatakan, banyak yang tidak menduga peristiwa ini karena selama ini KPU dianggap cukup keras dengan gagasan-gagasan antikorupsi.

Menurut dia, dampak dari penangkapan tersebut juga akan berimbas terhadap institusi KPU. Pengaruhnya, penangkapan Wahyu Setiawan bisa membuat kepercayaan publik terhadap KPU menjadi menurun.

Pasca-kasus ini, ia mengingatkan KPU untuk meyakinkan publik bahwa mereka tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi.

KPU juga harus tetap memegang integritas dalam penyelenggaraan pemilu

KPU dan jajarannya harus bisa menunjukkan komitmen pada publik bahwa mereka menggunakan standar integritas yang tinggi dalam bekerja. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

Tren
Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Tren
Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Tren
Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Tren
Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Tren
Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Tren
Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Tren
Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Tren
La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

Tren
Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Tren
Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Tren
Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Tren
Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Tren
Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com