Budi menyampaikan bahwa sekalipun itu atas nama budaya, kawin tangkap atau kawin paksa itu akan ada dalam usulan salah satu kekerasan seksual di UU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Di sisi lain, terkait tradisi pernikahan yang merugikan kaum perempuan, yakni usia calon pengantin perempuan minimal 19 tahun di mana asumsi usia tersebut sudah tidak pada kategori anak.
Meski begitu, bukan berarti dapat semena-mena terhadap tubuh perempuan.
Menyoal kasus tersebut, Budi mengungkapkan bahwa terlihat sekali ratifikasi CEDAW (Convention of the Elimination of all Forms of Discrimination againts Women), atau penghapusan destinasi terhadap perempuan yang tertuang dalam Nomor 7 Tahun 1984 tidak digunakan sebagai rujukan.
"Ini nampak ya, kalau kita tidak melakukan perubahan itu akan ada di ranah kultur. Ini juga kalau kita tidak mengubah budayanya kan sulit," ujarnya lagi.
Menurut Budi, masyarakat sebaiknya mengubah isi dari kebijakannya, kemudian secara struktur seperti apa, apakah pengambil kebijakan kemudian mengedepankan kebijakan yang kondusif bagi perempuan.
Oleh karena itu, Budi menegaskan budaya (dalam hal ini yang membahayakan perempuan) memang harus diperangi.
"Komnas Perempuan cukup prihatin dengan tradisi atau nudaya seperti itu yang masih dilestarikan di tengah-tengah kita ingin menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual," kata dia.
Ia juga sangat menyayangkan bahwa kejadian tersebut ada saat periode Hari Anti Kekerasan atau HAM yakni pada 25 November -10 Desember 2019.
Baca juga: Seni Perlawanan Anak Muda di Balik Poster Lucu Pendemo
Di sisi lain, Budi menyebutkan bahwa tidak hanya kawin tangkap saja yang mengancam fisik kaum perempuan.
Ada juga contoh terselubung lain, misalnya dengan adanya kesepakatan orangtua dengan orang lain dengan menjodohkan anaknya atau dengan kawin ijon, atau bisa dengan kawin pesan.
"Misal ketika pas kecil dipesankan kalau sudah besar akan menikah dengan ini," ucap Budi.
Hal inilah yang muncul bahwa relasi kuasa akan menjadi akar di semua aktivitas kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan.
Dalam hal ini bisa melakukan tindakan apapun terhadap perempuan, termasuk yang berkaitan dengan perkawinan.
Menariknya, jika hal ini diperhatikan oleh pihak Kantor Urusan Agama (KUA).