JAKARTA, KOMPAS.com - Perbincangan mengenai penetapan upah minimum tengah menjadi perhatian publik menyusul penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) sejumlah daerah.
Pembahasan upah minimum selalu diikuti dinamika, baik dari kalangan buruh maupun pengusaha.
Secara umum, upah minimum merupakan standar yang ditetapkan pemerintah untuk pengusaha dalam membayar upah pekerja yang kenaikannya ditetapkan setahun sekali.
Selain UMK, ada istilah Upah Minimum Provinsi. Kedua istilah ini menggantikan istilah yang digunakan sebelumnya, Upah Minimum Regional (UMR).
Kini, istilah UMR tak lagi digunakan.
Baca juga: Aliansi Buruh Kecewa UMK Banten yang Ditetapkan Gubernur
Pengubahan istilah ini diputuskan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000.
Keputusan Menteri itu mengubah sejumlah pasal pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 01 Tahun 1999.
Istilah UMR berganti menjadi UMK dan UMP
Melalui Permenaker No 01 Tahun 1999, dijelaskan bahwa UMR merupakan upah minimum yang penetapannya dilakukan oleh gubernur yang menjadi acuan pendapatan buruh di wilayahnya.
Penetapan UMR dilakukan melalui proses panjang yang melibatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah (tripartit).
Dalam proses penetapannya, tim yang disebut Dewan Pengupahan melakukan survei kebutuhan hidup pekerja dari kebutuhan pangan, sandang, hingga rumah yang kemudian diperoleh angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Baca juga: Naik, Ini Rincian UMK 2020 di Yogyakarta
Melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000, UMR Tingkat I diubah menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP).
Sementara, UMR Tingkat II diubah menjadi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Sebelum penggunaan istilah UMP dan UMK, semua penyebutan upah minimum menggunakan UMR, baik Tingkat I maupun Tingkat II.
UMP dan UMK