Kala itu, untuk menentang kolonialisme Belanda yang masih terjadi.
Berlandaskan semangat Sumpah Pemuda, ia bergerak secara diam-diam untuk bertemu dengan sejumlah tokoh di bidang sepak bola di beberapa kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Solo.
Pergerakan diam-diam ini dimaksudkan untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID).
Pembicaraan mengenai perlunya membentuk sebuah organisasi sepak bola nasional dimatangkan saat Soeratin bertemu dengan Ketua Voetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ) Soeri di Hotel Binnenhof di kawasan Kramatjati, Jakarta.
Baca juga: Menaruh Harap pada Kongres Luar Biasa PSSI
Di kota-kota lainnya, Soeratin bertemu dengan sejumlah tokoh pergerakan yang dilakukan menggunakan jasa kurir, lagi-lagi dalam upaya menghindari sergaan PID.
Singkat cerita, pada 19 April 1930, tokoh-tokoh dari sejumlah organisasi sepak bola daerah berkumpul di Yogyakarta.
Organisasi itu adalah VIJ, Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB), Persatuan Sepak Bola Mataram Yogyakarta (PSM), Vortendlandsche Voetbal Bond Solo (VVB), Madionsche Voetbal Bond (MVB), Indonesische Voetbal Magelang (IVBM), dan Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB).
Pada saat itulah PSSI pertama kali terbentuk.
Ketika itu, PSSI merupakan singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia.
Hingga kemudian disepakati "Sepak Raga" diubah menjadi "Sepak Bola" dalam Kongres PSSI di Solo tahun 1930.
Pada kongres itu, Soeratin juga ditetapkan sebagai ketua umum PSSI.
Setelah itu, mulai tahun 1931, PSSI menyelenggarakan kompetisi sepak bola yang mempertemukan klub-klub dari daerah di Indonesia secara rutin.
Sebagai seorang yang memiliki jasa dalam terbentuknya PSSI, nama Soeratin hingga saat ini masih dikenang dalam dunia persebakbolaan nasional, yakni dijadikan nama trofi dalam kompetisi bola junior nasional.
Ya, Piala Suratin.
Namun, di akhir masa hidupnya Soeratin harus berjuang dalam sakit dan kemiskinan yang membelenggunya.
Dikutip dari Harian Kompas edisi 8 Juli 2006, Suratin tinggal di rumah berdiding anyaman bambu berukuran 4x6 meter di Jalan Lombok, Bandung.
Kediamannya sempat diobrak-abrik oleh Belanda karena ia aktif sebagai anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Letnan Kolonel.
Ia akhirnya meninggal pada tahun 1959, karena tidak lagi mampu menebus obat untuk sakit yang dideritanya.
Tak ada yang ditinggalkan selepas kematiannya, selain PSSI, organisasi yang ia dirikan atas dasar cinta kepada Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.