Di UU yang lama, Pasal 46 ayat (1) berbunyi, "Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini."
Kemudian dalam Pasal 46 ayat (2) yang biasa dijadikan dasar untuk memudahkan pemeriksaan pejabat tertentu, dihapus.
Pasal 46 yang baru berbunyi, "Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan pemeriksaan tersangka dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana."
"Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK. Padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Dalam pelaksanaan penuntutan pun KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait. Tapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap penuntutan. Penyadapan hanya bisa dilakukan di tahap penyelidikan dan penyidikan sesuai Pasal 12 ayat (1) hasil revisi.
Selain itu, penyadapan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi. Penyadapan harus seizin Dewan Pengawas dan dipertanggungjawabkan ke Dewan Pengawas.
Terdapat risiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan penyadapan.
Padahal, dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.
Selain itu, hasil penyadapan yang tidak terkait dengan korupsi yang sedang ditangani wajib dimusnahkan seketika sesuai Pasal 12D ayat (2).
Tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut.
Pegawai KPK juga rentan dikriminalisasi terkait penyadapan yang dimaksud. Sebab ayat selanjutnya mengancam penyidik bisa dikenai hukuman pidana.
Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya.
Penyadapan dikeluhkan DPR
Sejak 2017 lalu, penyadapan yang dilakukan KPK memang dikeluhkan oleh DPR. Fahri Hamzah misalnya, menilai penyadapan KPK ilegal.
"Saya harus mengatakan istilah menjebak, itu juga dilakukan KPK," tuduh Fahri pada 2017 lalu.
Kemudian Benny K Harman yang kala iu menjabat Wakil Ketua Komisi III mengeluhkan ada orang yang sudah disadap meski status hukumnya belum jelas.
"Seseorang belum jelas statusnya apakah tingkat penyidikan atau penyelidikan tapi dia sudah jadi target penyadapan. HP-nya disadap dan kesannya seolah kejahatan ini dikawal untuk dilakukan sehingga terjadi tindak pidana yang sempurna," ujar dia pada 2017.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, pemerintah dan DPR sebaiknya tidak hanya mengutak-atik kewenangan penyadapan oleh KPK.
"Jangan hanya KPK yang diobok-obok kewenangannya, sementara lembaga lain didiamkan saja," kata Fickar.
Menurut dia, kewenangan penyadapan yang dimiliki juga oleh Polri dan Kejaksaan tidak diatur dalam undang-undang.
UU Penyadapan
Padahal, pada 2011 Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengharuskan pemerintah dan DPR membentuk UU yang mengatur prosedur penyadapan.
Kendati demikian, hingga kini Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan belum disahkan di DPR.
Fickar berpandangan, kewenangan penyadapan setiap instansi akan lebih jelas dengan adanya UU tersebut.
"Jadi ada kesamaan perlakuan pada instansi-instansi yang memiliki kewenangan menyadap, kecuali UU menentukan lain," ujar dia.
Selain penyadapan, saat akan melakukan penggeledahan dan penyitaan, KPK lagi-lagi mesti meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK.
Dewan pengawas bisa memberi atau tidak memberi izin dalam waktu 1x24 jam sejak permintaan diajukan. Ketentuan itu diatur Pasal 47 Ayat (1) dan Ayat (2).
Pada UU KPK sebelumnya, KPK tidak perlu meminta izin kepada siapa pun untuk menggeledah dan menyita, selama ada dugaan kuat serta bukti permulaan yang cukup.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, keberadaan dewan pengawas justru berpotensi menggagalkan penyelidikan kasus korupsi.
Sebab, bukan tidak mungkin dewan pengawas membocorkan proses penyelidikan maupun penyidikan ke pihak yang menjadi target operasi.