Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

KPK Fana, Korupsi Abadi (2): Pasal-pasal yang Melemahkan KPK

Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang KPK Fana, Korupsi Abadi. Sebelum membaca, silakan baca dulu tulisan pertama.

---------------------------------------

KOMPAS.com - Tak berlebihan rasanya jika menyebut Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang direvisi sebagai senjata yang akan melemahkan KPK.

Bagaimana tidak? Revisi itu memuat pasal-pasal yang memangkas kewenangan KPK.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebut setidaknya ada 26 poin dalam UU KPK yang baru yang akan menghambat pemberantasan korupsi.

"Dua puluh enam poin ini kami pandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini," kata Febri, Rabu (25/9/2019) lalu.
DPR dan pemerintah sama-sama membantah tudingan bahwa revisi itu diniatkan untuk melemahkan KPK.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut, usulan revisi UU KPK justru berasal dari pimpinan KPK periode sebelumnya.

“Permintaan revisi itu datang dari banyak pihak termasuk dan terutama dari pimpinan KPK. Orang-orang KPK merasa ada masalah di UU KPK itu,” kata Fahri, Jumat (6/9/2019) lalu.

Padahal, pimpinan KPK mengklaim mereka tak dilibatkan dalam pembahasan RUU KPK.

Bantahan serupa juga disampaikan anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan, Arteria Dahlan. Arteria yang gigih mendukung revisi UU KPK mengklaim, revisi itu menjawab permintaan KPK sekaligus demi memperkuat KPK.

"Jadi Komisi III itu tanya, dukungan seperti apa yang KPK minta. Ini kami lakukan karena memang ingin mendukung KPK," kata Arteria, Sabtu (7/9/2019).

Dari pemerintah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengklaim revisi UU KPK sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Yasonna mengatakan draf revisi Undang-undang KPK sejatinya sudah disiapkan sejak 2012 dan dibahas berkala pada 2015 dan 2017 di DPR, tetapi selalu ditolak publik.

Kader PDI-P itu juga menangkis tudingan-tudingan yang menyebut Pemerintah dan DPR terburu-buru memproses revisi UU KPK hingga mengesampingkan naskah akademik.

"Dibilang tidak ada naskah akademik. Yang benar saja! Apa kami orang tolol semua?" ujar Yasonna dengan nada meninggi, Selasa (17/9/2019).

Ironinya, perjalanan revisi UU KPK sangat singkat. DPR mengajukan revisi UU KPK sebagai inisiatif pada Jumat, 6 September 2019, dan disahkan pada Selasa, 17 September.

Artinya, hanya butuh waktu tidak sampai 2 minggu hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan. Sebagian pembahasan dilakukan tertutup.

Ada 26 poin dalam undang-undang itu yang dipersoalkan publik. Berikut rangkuman dari 26 poin itu:

1. Pelemahan independensi KPK

Dalam Undang-Undang KPK yang baru disahkan, Pasal 1 ayat (3) menyatakan, KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kemudian Pasal 3 menyatakan, KPK sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Sebelumnya di UU KPK hanya menyebut KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Selama ini, status KPK bukan bagian dari pemerintah, melainkan lembaga ad hoc independen.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai ketentuan tersebut berpotensi membuat KPK tak lagi menjadi lembaga yang independen.

"Sebagai rumpun eksekutif maka KPK tentu bertanggungjawab kepada Presiden melalui Dewan Pengawas," ujar Feri.

Selain itu, ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus.

Pasal itu mensyaratkan segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan seperti diatur KUHAP, tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi.

Di satu sisi, UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.

Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.

Pandangan perumus UU KPK

Salah satu perumus UU KPK, Romli Atmasasmita berpendapat, KPK saat ini sudah menyimpang dari tujuan awal pembentukannya.

KPK diharapkan dapat melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan.

Namun Romli menilai, KPK saat ini tidak lagi demikian. KPK terkesan lebih sering bekerja sendirian tanpa berkoordinasi dan supervisi dengan Polri dan kejaksaan.

Sementara itu, pengembalian keuangan negara dari kasus korupsi yang ditangani KPK juga kecil, kalah dari institusi Polri dan kejaksaan.

Catatan Romli, hanya Rp 722 miliar kerugian negara yang dapat dikembalikan KPK selama rentang waktu itu.

"Angka itu jauh dari kepolisian sebesar Rp 3 Triliun dan Kejaksaan sebesar Rp 6 Triliun," kata dia.

2. Pegawai dari PNS

Terkait para pegawai KPK, revisi UU KPK akan membuat mereka menyandang status aparatur sipil negara (ASN). Sehingga, mereka harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang ASN.

Dengan revisi ini, mekanisme pengangkatan pegawai KPK nantinya juga menyesuaikan ketentuan UU ASN. Ini merujuk Pasal 1 Ayat (6), Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C dalam revisi UU KPK.

Pegawai KPK jadi rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya

Dengan status PNS, gaji dan tunjangan pegawai akan berkurang. Feri mengatakan tanpa gaji yang memadai, pegawai KPK rentan terlibat dalam korupsi itu sendiri.

"Coba bayangkan, pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara seperti saya. Menangani perkara ratusan miliar dan triliunan, gajinya sedikit. Itukan sama menyuruh orang yang kelaparan disuruh menjaga warung Nasi Padang, tapi dilarang makan," kata Feri.

Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.

Supaya tidak ada politik di KPK

Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menilai dengan beralihnya status pegawai KPK menjadi ASN, tak akan ada politik di KPK.

Menurutnya, Wadah Pegawai KPK kini sudah berubah menjadi wadah politik. KPK dianggap berpolitik dengan mengungkap pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan terpilih KPK Firli Bahuri.

"Harus diubah ke depan. WP harus diisi oleh ASN agar tidak berpolitik sehingga KPK tidak sakit-sakitan lagi. Kalau sekarang, tubuhnya sakit, enggak sehat, banyak friksinya," kata ujar Masinton.

3. Ketidakjelasan pimpinan KPK

Bagian yang mengatur bahwa pimpinan KPK adalah penanggung jawab tertinggi dihapus. Selain itu, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum.

"Sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justitia dalam pelaksanaan tugas penindakan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Pimpinan KPK yang tadinya berusia minimal 40 tahun, di Pasal 29 yang baru diwajibkan minimal 50 tahun.

Dalam Pasal ini juga ada salah ketik. Keterangan dalam kurang tertulis empat puluh tahun. Saat ini tipo sedang diperbaiki menjadi lima puluh tahun.

Dengan berlakunya aturan ini, Nurul Ghufron, pimpinan baru KPK tak memenuhi syarat karena baru berusia 45 tahun.

Ada cacat logika dalam pemberlakuan aturan ini. UU disebut tidak berlaku surut terhadap lima pimpinan terpilih.

Ini dinilai tidak relevan karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat.

Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden. Jika sesuai jadwal maka pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019.

Hal itu berarti UU yang baru sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50 tahun. Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat risiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah.

4. Dewan Pengawas yang berkuasa

UU KPK yang baru menghapus posisi Penasihat KPK. Namun tidak jelas apakah langsung berhenti saat UU ini diundangkan atau dialihkan menjadi Dewan Pengawas.

Ya, nantinya akan ada dewan baru yakni Dewan Pengawas. Dewan Pengawas yang punya kuasa lebih dari pada Pimpinan KPK.

Namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas. Pimpinan KPK harus berijazah sarjana hukum atau sarjana lain.

Selain itu pimpinan harus memiliki keahlian dengan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan.

Sementara Dewan Pengawas cukup berpendidikan paling rendah S1 dan tak ada syarat pengalaman.

Standar etik yang longgar

Dewan Pengawas juga punya standar etik yang longgar. Pasal 36 UU KPK melarang pimpinan KPK menangani kasus korupsi yang dilakukan keluarganya.

Kemudian pimpinan dilarang merangkap menjadi komisaris atau direksi suatu perseroan organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.

Namun Pasal ini tak berlaku untuk Dewan Pengawas.

"Sehingga Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga jabatan profesi lainnya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Dewan Pengawas nantinya akan dipilih oleh presiden melalui panitia seleksi.

Namun untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.

Kekuasasan besar Dewan Pengawas

Dengan syarat dan etik yang rendah, Dewan Pengawas malah diberikan kekuasaan besar. Berdasarkan Pasal 37B, Dewan Pengawas berwenang memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata hal itu dapat berimplikasi kepada terbatasnya wewenang pimpinan KPK dalam menindak kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani.

"Artinya nanti ya seperti sprindak, surat perintah penahanan, terus surat perintah penyidikan itu bukan pimpinan yang tanda tangan. Apalagi kan untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan itu harus seizin dewan pengawas," ujar Alex.

Aturan soal Dewan Pengawas sendiri ada pertentangan dalam sejumlah normanya.

Seperti Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah.

Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan

Presiden Joko Widodo menyebut keberadaan Dewan Pengawas KPK diperlukan karena semua lembaga atau instrumen pemerintahan bekerja di bawah pengawasan untuk keberlangsungan fungsi check and balancies, bahkan termasuk Presiden.

“Hal ini dibutuhkan untuk meminimalkan potensi penyalahgunakan kewenangan,” kata Jokowi.

Hal senada juga disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla, hanya saja ia tidak menyetujui jika Dewan Pengawas KPK diberi kewenangan untuk menentukan izin penyadapan yang akan dilakukan KPK.

5. Pemangkasan kewenangan di tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

Sesuai Pasal 11 Undang-undang yang lama, KPK berwenang menangani kasus yang meresahkan publik. Berdasarkan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain.

Dalam keadaan tertentu, KPK dapat mengambil alih kasus yang ditangani kepolisian atau kejaksaan yang proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum, dan meresahkan masyarakat.

Namun di undang-undang yang baru, poin ini dihapus.

Kemudian pada Pasal 12 ayat (2) tidak disebut kewenangan penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas penyidikan”.

Norma yang diatur tidak jelas dan saling bertentangan.

Dipersulit

Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di penuntutan.

Kemudian di tahap penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka juga dipersulit.

Di UU yang lama, Pasal 46 ayat (1) berbunyi, "Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini."

Kemudian dalam Pasal 46 ayat (2) yang biasa dijadikan dasar untuk memudahkan pemeriksaan pejabat tertentu, dihapus.

Pasal 46 yang baru berbunyi, "Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan pemeriksaan tersangka dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana."

"Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK. Padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Dalam pelaksanaan penuntutan pun KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait. Tapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.

6. Sulitnya penyadapan

Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap penuntutan. Penyadapan hanya bisa dilakukan di tahap penyelidikan dan penyidikan sesuai Pasal 12 ayat (1) hasil revisi.

Selain itu, penyadapan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi. Penyadapan harus seizin Dewan Pengawas dan dipertanggungjawabkan ke Dewan Pengawas.

Terdapat risiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan penyadapan.

Padahal, dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.

Selain itu, hasil penyadapan yang tidak terkait dengan korupsi yang sedang ditangani wajib dimusnahkan seketika sesuai Pasal 12D ayat (2).

Tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut.

Pegawai KPK juga rentan dikriminalisasi terkait penyadapan yang dimaksud. Sebab ayat selanjutnya mengancam penyidik bisa dikenai hukuman pidana.

Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya.

Penyadapan dikeluhkan DPR

Sejak 2017 lalu, penyadapan yang dilakukan KPK memang dikeluhkan oleh DPR. Fahri Hamzah misalnya, menilai penyadapan KPK ilegal.

"Saya harus mengatakan istilah menjebak, itu juga dilakukan KPK," tuduh Fahri pada 2017 lalu.

Kemudian Benny K Harman yang kala iu menjabat Wakil Ketua Komisi III mengeluhkan ada orang yang sudah disadap meski status hukumnya belum jelas.

"Seseorang belum jelas statusnya apakah tingkat penyidikan atau penyelidikan tapi dia sudah jadi target penyadapan. HP-nya disadap dan kesannya seolah kejahatan ini dikawal untuk dilakukan sehingga terjadi tindak pidana yang sempurna," ujar dia pada 2017.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, pemerintah dan DPR sebaiknya tidak hanya mengutak-atik kewenangan penyadapan oleh KPK.

"Jangan hanya KPK yang diobok-obok kewenangannya, sementara lembaga lain didiamkan saja," kata Fickar.

Menurut dia, kewenangan penyadapan yang dimiliki juga oleh Polri dan Kejaksaan tidak diatur dalam undang-undang.

UU Penyadapan

Padahal, pada 2011 Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengharuskan pemerintah dan DPR membentuk UU yang mengatur prosedur penyadapan.

Kendati demikian, hingga kini Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan belum disahkan di DPR.

Fickar berpandangan, kewenangan penyadapan setiap instansi akan lebih jelas dengan adanya UU tersebut.

"Jadi ada kesamaan perlakuan pada instansi-instansi yang memiliki kewenangan menyadap, kecuali UU menentukan lain," ujar dia.

7. Mekanisme penyitaan dan penggeledahan

Selain penyadapan, saat akan melakukan penggeledahan dan penyitaan, KPK lagi-lagi mesti meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK.

Dewan pengawas bisa memberi atau tidak memberi izin dalam waktu 1x24 jam sejak permintaan diajukan. Ketentuan itu diatur Pasal 47 Ayat (1) dan Ayat (2).

Pada UU KPK sebelumnya, KPK tidak perlu meminta izin kepada siapa pun untuk menggeledah dan menyita, selama ada dugaan kuat serta bukti permulaan yang cukup.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, keberadaan dewan pengawas justru berpotensi menggagalkan penyelidikan kasus korupsi.

Sebab, bukan tidak mungkin dewan pengawas membocorkan proses penyelidikan maupun penyidikan ke pihak yang menjadi target operasi.

"Ketika lembaga independen ada dewan pengawas, sangat besar potensi nanti dia bocor. Bahkan mungkin anggota dewan pengawas yang akan bilang ke orang yang digeledah untuk menyembunyikan terlebih dahulu kejahatannya," kata Bivitri.

Terlebih lagi, kata Bivitri, dewan pengawas ditunjuk langsung oleh Presiden. Bukan tidak mungkin mereka bakal diintervensi pihak tertentu.

Keberadaan dewan pengawas beserta kewenangannya dinilai tidak bisa dibenarkan secara hukum pidana.

"Saya dalam posisi tidak setuju adanya dewan pengawas itu. Selain dia benar-benar mempreteli kewenangan KPK, dia juga secara pidana benar-benar salah paham. Untuk mengobrak abrik KPK kita buat anomali dalam hukum pidana," ujarnya.

8. Kewenangan SP3

Berdasarkan hasil revisi, KPK pun berwenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap perkara yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun. Itu tercatat pada Pasal 40.

Lagi-lagi, SP3 ini juga harus dilaporkan ke dewan pengawas, paling lambat satu minggu sejak diterbitkan.

Buat catatan, ada perbedaan terkait kewenangan SP3 ini di antara KPK, Polri, dan Kejaksaan.

Di Polri dan Kejaksaan, kewenangan SP3 tidak dibatasi waktu. Pembatasan hanya berdasarkan kedaluwarsa perkara sesuai ancaman hukuman.

Berdasarkan putusan MK, ketiadaan kewenangan SP3 di KPK tidak melanggar HAM. Justru, kata MK, KPK lebih dituntut berhati-hati dalam menetapkan tersangka. Ini juga bisa menutup celah makelar kasus.

Kepastian hukum bagi investor

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang menyebut dengan adanya wewenang SP3 bagi KPK, kepastian hukum bagi investor akan lebih baik.

Orang yang menjadi tersangka dan sudah bertahun-tahun tidak ditemukan bukti, statusnya tidak bisa dicabut.

Penetapan status tersangka yang tanpa kepastian ini dinilai akan menjadi momok bagi investor untuk menanamkan modalnya.

“Jadi maksud saya bukan soal KPK-nya yang menghambat investasi, tetapi KPK yang bekerja berdasarkan undang-undang yang lama masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum, dan ini berpotensi menghambat investasi,” kata mantan Panglima TNI ini.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril menilai, penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan yang tengah ditangani pun berpotensi terhenti lantaran ketentuan penghentian perkara yang harus dilaksanakan KPK.

"Dengan adanya pasal (pengaturan SP3) itu, kemungkinan pimpinan baru akan me-review perkara yang ada dan banyak sekali perkara yang masuk kategori diberikan SP3, karena ketentuan (pemberian SP3) dalam UU baru itu sangat longgar," kata Oce.

Adapun peneliti ICW Donal Fariz memandang, waktu pengusutan kasus yang dibatasi ini akan membuat KPK tidak dapat menangani perkara korupsi yang kompleks.

"Hanya bisa menangani kasus kecil," tutur dia.

Hal itu dinilainya berisiko membuat kinerja penegakan hukum oleh KPK menjadi turun drastis.

Bersambung. Nantikan artikel berikutnya.
KPK Fana, Korupsi Abadi (3): Apakah Kita sedang Berjalan Mundur?

https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/17/140000065/kpk-fana-korupsi-abadi-2-pasal-pasal-yang-melemahkan-kpk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke