"Sebagai rumpun eksekutif maka KPK tentu bertanggungjawab kepada Presiden melalui Dewan Pengawas," ujar Feri.
Selain itu, ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus.
Pasal itu mensyaratkan segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan seperti diatur KUHAP, tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi.
Di satu sisi, UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.
Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.
Pandangan perumus UU KPK
Salah satu perumus UU KPK, Romli Atmasasmita berpendapat, KPK saat ini sudah menyimpang dari tujuan awal pembentukannya.
KPK diharapkan dapat melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan.
Namun Romli menilai, KPK saat ini tidak lagi demikian. KPK terkesan lebih sering bekerja sendirian tanpa berkoordinasi dan supervisi dengan Polri dan kejaksaan.
Sementara itu, pengembalian keuangan negara dari kasus korupsi yang ditangani KPK juga kecil, kalah dari institusi Polri dan kejaksaan.
Catatan Romli, hanya Rp 722 miliar kerugian negara yang dapat dikembalikan KPK selama rentang waktu itu.
"Angka itu jauh dari kepolisian sebesar Rp 3 Triliun dan Kejaksaan sebesar Rp 6 Triliun," kata dia.
Terkait para pegawai KPK, revisi UU KPK akan membuat mereka menyandang status aparatur sipil negara (ASN). Sehingga, mereka harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang ASN.
Dengan revisi ini, mekanisme pengangkatan pegawai KPK nantinya juga menyesuaikan ketentuan UU ASN. Ini merujuk Pasal 1 Ayat (6), Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C dalam revisi UU KPK.
Pegawai KPK jadi rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya
Dengan status PNS, gaji dan tunjangan pegawai akan berkurang. Feri mengatakan tanpa gaji yang memadai, pegawai KPK rentan terlibat dalam korupsi itu sendiri.
"Coba bayangkan, pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara seperti saya. Menangani perkara ratusan miliar dan triliunan, gajinya sedikit. Itukan sama menyuruh orang yang kelaparan disuruh menjaga warung Nasi Padang, tapi dilarang makan," kata Feri.
Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
Supaya tidak ada politik di KPK
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menilai dengan beralihnya status pegawai KPK menjadi ASN, tak akan ada politik di KPK.
Menurutnya, Wadah Pegawai KPK kini sudah berubah menjadi wadah politik. KPK dianggap berpolitik dengan mengungkap pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan terpilih KPK Firli Bahuri.
"Harus diubah ke depan. WP harus diisi oleh ASN agar tidak berpolitik sehingga KPK tidak sakit-sakitan lagi. Kalau sekarang, tubuhnya sakit, enggak sehat, banyak friksinya," kata ujar Masinton.
Bagian yang mengatur bahwa pimpinan KPK adalah penanggung jawab tertinggi dihapus. Selain itu, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum.
"Sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justitia dalam pelaksanaan tugas penindakan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Pimpinan KPK yang tadinya berusia minimal 40 tahun, di Pasal 29 yang baru diwajibkan minimal 50 tahun.
Dalam Pasal ini juga ada salah ketik. Keterangan dalam kurang tertulis empat puluh tahun. Saat ini tipo sedang diperbaiki menjadi lima puluh tahun.