KOMPAS.com - Film Joker memancing berbagai diskusi dan pro kontra. Sebagian orang menganggap film ini hiburan semata.
Akan tetapi, ada pula yang menganggap bahwa Joker menggambarkan kondisi saat ini.
Setelah menyaksikan filmnya, banyak orang langsung merasakan empati dan memaklumi perbuatan yang dilakukan Joker.
Mereka merasa seolah-olah terseret dalam karakter Arthur Fleck yang tampak realistis.
Bahkan, tak sedikit pula yang merasa begitu dekat dengan karakter Fleck yang mengidap penyakit mental sehingga seolah-olah bisa berbagi cerita.
Fenomena apa ini?
Fenomena ini disebut dengan narrative transportation, keadaan di mana penonton merasa sangat terlibat dalam alur sebuah cerita.
Dalam beberapa kondisi, fenomena ini bisa memengaruhi sikap dan perilaku seseorang di dunia nyata setelah selesai membaca atau menonton sebuah film.
Baca juga: Transformasi Joker dari Masa ke Masa, Penjahat Tertua dalam Sejarah Komik...
Narrative transportation atau transportasi narasi terjadi ketika Anda membayangkan plot cerita terjadi dalam kehidupan Anda.
Selain itu, fenomena ini memungkinkan seseorang untuk membenamkan diri dalam dunia fiksi dan menjadi pelarian dari kehidupan sehari-hari yang monoton.
Saat menonton atau membaca cerita, seseorang kadang membayangkan karakter dan perilaku para tokoh adalah diri sendiri.
Hal ini membuat seseorang bisa merasa empati terhadap karakter suatu tokoh.
Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Melanie Green dan Timothy Brock dari Ohio State University pada tahun 2000.
Saat itu, Green dan Brock menciptakan skala yang bisa digunakan untuk mengukur kerentanan subyek terhadap narrative transportation.
Mereka juga melakukan percobaan di mana para peserta diminta untuk membaca sebuah kisah pembunuhan.
Para peserta kemudian diminta untuk mengisi kuisioner tentang kepercayaan mereka sendiri.
Dari riset tersebut, para peneliti menemukan, setelah membaca cerita tersebut, para peserta mengalami merasakan ada keterikatan dengan cerita yang diberikan.
Selain itu, salah satu penelitian yang dilakukan oleh M Appel pada 2011 melaporkan bahwa orang mengasimilasi sikap dan perilaku mereka dengan karakter dalam cerita setelah membacanya.
Baca juga: Joker dan Ungkapan Orang Jahat adalah Orang Baik yang Tersakiti dari Kacamata Psikolog
Peneliti meminta peserta ntuk membaca narasi yang menggambarkan para hooligan atau sebutan untuk suporter sepak bola yang melakukan kekerasan atau kerusuhan.
Sementara, kelompok lain diberi teks berbeda.
Appel kemudian menguji pengetahuan kedua kelompok dengan melakukan tes.
Hasilnya, kelompok yang diberi teks mengenai kekerasan tersebut meniru tingkat kecerdasan para tokoh dalam teks dan memiliki kinerja lebih buruk dibanding mereka yang diberi teks biasa.
Temuan ini menunjukkan bahwa manusia berusaha meniru sifat-sifat kepribadian yang dikagumi dan menyesuaikan sikapnya.
Namun narrative transportation juga bisa mempromosikan atau memperkuat sifat-sifat khas seseorang dalam peran sosial tertentu.
Percobaan lainnya dilakukan Tobias Richter. Dalam penelitiannya, dia meminta para wanita untuk membaca dua teks pilihan.
Satu kelompok diberi teks tentang pengalaman seseorang menjadi ibu, sementara kelompok lain diberi teks yang menceritakan kehidupan sehari-hari.
Dalam riset tersebut, Richter menemukan, kelompok yang diberi teks tentang pengalaman menjadi seorang ibu, mengidentifikasikan dirinya dengan ciri-ciri kepribadian yang umumnya dianggap feminin.
Narasi sebuah cerita biasanya menggambarkan karakter milik suatu kelompok.
Saat menikmati cerita, pembaca atau penonton kemudian merasa seolah-olah mereka adalah bagian dari kelompok tersebut, meski nyatanya mereka tidak terkait sama sekali dengan hal itu.
Penelitian lain dari Shira Gabrial dan Arian Young pada 2011 juga menemukan hal serupa.
Mereka meminta para peserta yang terdiri dari mahasiswa untuk membaca petikan-petikan dari novel vampir.
Setelah membaca bagian-bagian tersebut, para peserta melaporkan bahwa sikap dan karakter mereka cocok dengan sosok penyihir atau vampir dalam cerita tersebut.
Baca juga: Raup Rp 3,26 T dalam Sepekan, Joker Tumbangkan Rekor Venom
Selain itu, penelitian pada tahun 2015 menunjukkan bahwa sifat-sifat kepribadian seseorang juga dapat memengaruhi sejauh mana mereka 'diangkut' oleh narasi.
Lebih jauh, tokoh protagonis dalam sebuah cerita yang dianggap memiliki karakter baik dapat menginspirasi penonton atau bahkan menjadi panutan.
Meski demikian, narrative transportation juga memiliki sisi lain.
Beberapa kejadian kriminal dilaporkan terinspirasi dari tayangan sebuah film atau cerita novel.
Banyak penjahat yang meniru cara karakter antagonis dalam suatu cerita dalam melakukan aksinya.
Efek sebuah cerita juga bisa tertanam ke dalam pikiran seseorang saat ia berada dalam kondisi santai.
Profesor pemasaran Jennifer Escalas mengatakan, hal ini juga terjadi dalam dunia marketing.
Menurut dia, calon konsumen yang ingin membeli mobil biasanya akan berlaku kritis dengan menanyakan berbagai hal.
Akhirnya, ketertarikan untuk membeli barang tersebut tidak terlalu besar.
Namun, jika orang yang sama menonton iklan untuk mobil yang sama selama istirahat, bisa jadi hasilnya akan berbeda.
Misalnya, calon konsumen tersebut dalam kondisi santai dan tidak kritis melihat iklan sebuah mobil.
Dalam pikirannya, dia akan membayangkan narasi fiktif tersebut terjadi kepada dirinya sendiri.
Narasi ini nantinya akan membentuk keinginan orang untuk memiliki sebuah mobil, meski iklan yang dilayangkan tidak realistis.
Escalas juga memaparkan, model hiburan yang mengatasi resistensi menunjukkan bahwa argumen persuasif, seperti promosi penjualan atau narasi cerita yang disajikan dalam bentuk narasi, cenderung membujuk seseorang daripada argumen yang disajikan secara terpisah.