Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waspada Penyebarannya, Ini yang Perlu Diketahui soal Demam Babi Afrika

Kompas.com - 03/10/2019, 11:50 WIB
Vina Fadhrotul Mukaromah,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penyebaran ASF (African Swine Fever) atau demam babi Afrika ke Indonesia mendapatkan perhatian serius. Sejumlah upaya dilakukan Kementerian Pertanian untuk mencegah penyebarannya melalui sejumlah pengawasan.

Virus demam babi Afrika bisa menyebar melalui daging olahan impor yang dibawa masuk ke Indonesia.

Apa yang perlu diketahui soal demam babi Afrika?

Melansir dari laman resmi World Organization For Animal Health, virus demam babi afrika adalah sebuah penyakit berbahaya yang menginfeksi babi.

Hingga saat ini, belum diketahui risikonya terhadap manusia.

Penyakit ini disebabkan oleh virus dari famili Asfarviridae, yang juga menginfeksi kutu dari genus Ornithodoros.

ASF adalah penyakit endemik di wilayah Afrika sub-Sahara. Di Eropa, ASF menjadi endemik di Sardinia dalam beberapa dekade.

Penyakit ini kemudian mewabah di Georgia, Armenia, Azerbaijan dan bagian wilayah Eropa seperti Rusia, Ukraina, serta Belarus pada 2007.

Sementara itu, laman resmi European Food Safety Authority, menyebutkan, belum ada vaksin untuk menyembuhkan penyakit ini.

Oleh karena itu, virus ASF memiliki dampak sosio-ekonomi yang cukup serius di negara-negara yang terinfeksi virus ini.

Transmisi dan penyebaran

Epidemiologi dari demam babi afrika cukup kompleks dan bervariasi.

Hal ini bergantung pada kondisi lingkungan, keberadaan vektor, tingkah laku manusia, dan keberadaan babi liar.

Alur transmisi dapat melalui beberapa cara, yaitu:

  • Kontak langsung dengan babi yang terinfeksi oleh virus ASF
  • Kontak tidak langsung melalui pengonsumsian daging atau produk daging olahan dari hewan yang terinfeksi, termasuk sisa bahan makanan, pakan, dan babi liar yang terinfeksi
  • Benda-benda yang terkontaminasi atau vektor-vektor biologis

Pergerakan dari hewan-hewan yang terinfeksi, produk-produk babi yang terkontaminasi, dan pembuangan bangkai secara ilegal adalah penyebaran yang paling signifikan untuk penyakit ini.

Gejala-gejala klinis

Gejala-gejala klinis dan tingkat kematian bergantung pada jenis virulensi virus dan spesies babi.

Berikut adalah beberapa jenis gejala klinis pada bentuk-bentuk virus ASF:

  • Gejala akut dari ASF ditandai dengan demam tinggi, depresi, anoreksia, kehilangan selera makan, pendarahan pada kulit (kemerahan pada kulit telinga, perut, dan kaki), keguguran pada induk yang hamil, sianosis, muntah, diare, dan kematian dalam waktu 6-13 hari (atau bisa juga hingga 20 hari).

    Tingkat kematian pada bentuk ini dapat mencapai 100%.

  • Gejala sub akut dan kronik ASF disebabkan oleh virus dengan virulensi moderat atau rendah. Jenis virus ini menghasilkan gejala-gejala klinis yang tidak begitu jelas dan dapat terlihat dalam periode waktu yang lebih lama.

    Tingkat kematian jenis virus ini lebih rendah, yaitu berkisar antara 30-70%. Gejala penyakit kronik termasuk penurunan berat badan, demam yang berselang, gejala pernafasan, penyakit kulit kronis, dan radang sendi.

Pencegahan dan pengawasan

Pencegahan di negara-negara yang belum terinfeksi dapat dilakukan dengan memperketat kebijakan impor dan pengukuran biosekuritas.

Kebijakan ini untuk memastikan bahwa tidak ada babi atau olahan daging babi yang masuk ke dalam negara tersebut.

Pengetahuan yang baik dan manajemen dari populasi babi liar serta koordinasi antar-instansi atau lembaga yang bertanggung jawab atas hewan ternak, satwa, dan otoritas kehutanan dibutuhkan untuk mencegah dan mengontrol wabah ASF ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com