Undang-undang ini menambah kewenangan investigasi dari CPIB dan menetapkan hukuman yang lebih berta bagi pelaku korupsi.
Baca juga: Ironi dari DPR, Mengapa Pembahasan RUU KPK Sangat Cepat?
Pada tahun 1960 hingga 1970-an, korupsi telah menjadi masalah sosial di negara Hongkong, tetapi pemerintah Hongkong saat itu seperti tidak kuasa untuk mengatasinya.
Lalu, Independent Commision Against Corruption (ICAC) didirikan pada bulan februari 1974 dengan tujuan memberantas korupsi di negara tersebut.
Hingga saat ini, perkembangan ICAC sangat pesat bahkan dijadikan contoh dalam upaya pemberantasan korupsi di negara lain.
Terdapat beberapa kunci yang menjadikan ICAC bisa berhasil, yakni komitmen, konsistensi, dan pendekatan yang koheren antara pencegahan dan penindakan.
ICAC juga disebut model universal lantaran dianggap sebagai komisi anti korupsi yang ideal bagi pemberantasan korupsi.
Ideal dalam arti memiliki kerangka hukum yang kuat, mendapat dukungan keuangan yang cukup besar, jumlah tenaga ahli yang memadai dan yang paling terpenting adalah konsistensi dukungan pemerintah secara terus-menerus selama lebih dari 30 tahun.
Selain itu, ICAC diberikan wewenang yang cukup besar dalam penindakan dan pencegahan.
Seperti melakukan penyelidikan terhadap rekening bank, mengaudit harta kepemilikan dan dapat melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah tersangka melarikan diri dari proses penuntutan.
Dengan demikian, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari komisi anti korupsi di Hongkong:
Baca juga: Revisi UU KPK, dari Pengibaran Bendera Kuning hingga Anggapan Jokowi Telah Berubah
Bagaimana dengan Indonesia?
Pengesahan UU KPK oleh DPR pada 17 September 2019 membuat polemik di tengah masyarakat. Pasalnya ada anggapan adanya upaya pelemahan KPK.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan pelemahan KPK tersebut salah satunya terkait adanya dewan pengawas.
Dewan tersebut nantinya diangkat oleh Presiden yang menyebabkan komisioner tak lagi menjadi pimpinan tertinggi di KPK.
Kemudian status kepegawaian KPK akan berubah menjadi aparatur sipil negara. Lalu kegiatan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan KPK pun harus berdasarkan izin pengawas.
Menurut Laode, hal-hal di atas berpotensi mengganggu independensi KPK dalam mengusut sebuah kasus korupsi.
Selain itu, perubahan status KPK dari lembaga independen menjadi eksekutif juga menimbulkan kekhawatiran sendiri.
Meski dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap bersifat independen, ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana Bonaprapta khawatir penyidik KPK bakal tunduk pada atasannya, yakni Presiden.
"Yang terjadi selama ini independen itu cuman judul. Semua penyidik independen, penyidik kepolisian, kejaksaan. Masalahnya si penyidik punya atasan, apakah dia bisa memisahkan pada saat menjalankan fungsi penyidikan dia tidak tunduk pada atasan?" kata Gandjar, sebagaimana diberitakan Kompas.com (18/9/2019).
Baca juga: Jokowi, Pengembalian Mandat Pimpinan dan Revisi UU KPK
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.