Satu diantaranya adalah warisan tanah seluas 250 meter per segi dan bangunan seluas 87 meter per segi di Bekasi dengan nilai Rp 2,4 miliar.
Adapun total nilai aset tanah dan bangunan milik Firli mencapai Rp 10.443.500.000.
Tak hanya tanah, Firli tercatat juga memiliki 5 kendaraan. Yakni, motor Honda Vario tahun 2007 dengan nilai Rp 2,5 juta, Yamaha N-Max tahun 2016 dengan nilai Rp 20 juta, mobil Toyota Corolla Altis tahun 2008 dengan nilai Rp 70 juta.
Kemudian, Toyota LC Rado tahun 2010 dengan nilai Rp 400 juta dan Kia Sportage 2.0 GAT tahun 2013 senilai Rp 140 juta. Selanjutnya, Firli tercatat memiliki kas dan setara kas senilai Rp 7.150.424.386.
Dari pemberitaan Kompas.com (27/8/2019), terdapat laporan dari masyarakat soal gratifikasi yang pernah diterima Firli.
Anggapan tersebut muncul saat Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan kepada Firli.
Gratifikasi tersebut berupa pembayaran penginapan hotel.
"Soal gratifikasi, Bapak bisa jelaskan bahwa pada waktu pindah dari Lombok ke Jakarta, menginap di hotel kurang lebih 2 bulan dan ada pihak tertentu yang membayar, ini hanya dari masukan. Saya hanya menyampaikan, bukan menuduh, bisa klarifikasi Pak?" kata Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih kepada Firli saat tes wawancara dan uji publik di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).
Firli membenarkan telah menginap di sebuah hotel bersama anak dan istrinya pada 24 April hingga 26 Juni. Tetapi, ia tidak menyebutkan tahunnya.
Ia juga membantah bahwa uang yang digunakan untuk membayar hotel berasal dari orang lain.
"Mohon maaf, saya tidak pernah dibayari orang. Ini adalah contoh kecil memberantas korupsi," kata mantan Deputi Penindakan KPK ini.
Diberitakan Kompas.com (13/9/2019), saat Firli menjabat Deputi Penindakan KPK, pegawai KPK mengeluarkan petisi berjudul "Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus".
Walaupun ditujukan kepada Pimpinan KPK, petisi tersebut berisi jajaran Kedeputian Penindakan KPK saat itu mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara sampai ke tingkat pejabat yang lebih tinggi, kejahatan korporasi, maupun ke tingkatan tindak pidana pencucian uang.
Dalam petisi tersebut mengungkap 5 poin, di antaranya adalah terhambatnya penanganan perkara pada ekspose tingkat kedeputian; tingginya tingkat kebocoran dalam pelaksanaan penyelidikan tertutup; dan tidak disetujuinya pemanggilan dan perlakuan khusus terhadap saksi.
Tak hanya itu, tidak disetujui penggeledahan pada lokasi tertentu dan pencekalan; dan adanya pembiaran atas dugaan pelanggaran berat di dalam kedeputian penindakan.
Baca juga: Pelanggaran Etik Berat Tak Hambat Firli Jadi Ketua KPK
(Sumber: Kompas.com/Ardito Ramadhan, Dylan Aprialdo Rachman, Christoforus Ristianto)