Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukuman Kebiri Kimia, dari Wacana, Pro Kontra, Terbitnya Perppu, hingga Vonis untuk Aris

Kompas.com - 26/08/2019, 10:17 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

"Kita tidak menentang perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan janganlah (dilakukan) seorang dokter," kata Marsis, seperti diberitakan Kompas.com, 6 September 2016.

Baca juga: Perkosa 9 Anak, Seorang Pemuda di Mojokerto Dihukum Kebiri Kimia

Kendati demikian, Marsis menegaskan, IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Namun, sikap IDI ini menimbulkan dilema, mengingat hanya dokter yang memiliki kompetensi untuk memasukkan zat kimia ke tubuh manusia.

Disahkan DPR Menjadi UU

Setelah sempat tertunda, DPR akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna pada 12 Oktober 2016.

Beberapa fraksi yang sempat menolak, seperti PKS, juga menyetujuinya dengan catatan.

Beberapa catatan tersebut di antaranya adalah data dan rumusan perppu yang menjadi landasan penetapan perppu tidak jelas.

Tercatat hanya Gerindra yang tetap dalam posisi menolak.

Rahayu Saraswati, Anggota Fraksi Partai Gerindra, mengatakan, Gerindra mendukung pemberian hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan seksual.

Baca juga: Peringatan Hari Anak Nasional, Menteri Yohana Bicara Pentingnya Hukuman Kebiri

Namun, penjelasan pemerintah dinilainya masih kurang jelas terkait implementasi hukuman tambahan tersebut.

"Jika mayoritas menyetujui, kami menghormati. Tapi berdasarkan prinsip, kami harap nanti ditambahkan sebagai catatan bahwa Fraksi Partai Gerindra masih belum menyetujui," ujar Rahayu.

Menanggapi catatan itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yambise berjanji akan segera menindaklanjuti untuk membuat mekanisme pelaksanaan.

Vonis kebiri kimia untuk Aris

Muh Aris (20), pemuda asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur menjadi orang pertama yang akan menjalani hukuman kebiri kimia.

Hukuman itu dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya setelah Aris dinyatakan terbukti melakukan pemerkosaan terhadap 9 anak.

Selain hukuman kebiri kimia, Aris juga divonis penjara 12 tahun dan denda 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Terdakwa divonis bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Putusan majelis hakim terkait perkara yang menjerat Aris, tertuang dalam Putusan PN Mojokerto Nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk, tertanggal 2 Mei 2019.

Vonis hukuman pidana bagi predator anak tertuang dalam Putusan PT Surabaya dengan nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY, tertanggal 18 Juli 2019.

Terkait eksekusi hukuman kebiri, Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengungkapkan, pihaknya masih mencari rumah sakit yang bisa menjalankan eksekusi kebiri kimia.

"Kalau untuk pidana kurungannya sudah bisa dilakukan eksekusi. Namun, untuk kebiri kimia, kami masih mencari rumah sakit yang bisa," kata Wisnu, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2019).

(Sumber: Kompas.com/Ihsanuddin/Kristian Erdianto/Dian Maharani/Nabilla Tashandra/Moh. Syafii/Rakhmat Nur Hakim)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Tren
Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Tren
Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Tren
Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Tren
Uji Coba Implan Otak Neuralink Pertama untuk Manusia Alami Masalah, Ini Penyebabnya

Uji Coba Implan Otak Neuralink Pertama untuk Manusia Alami Masalah, Ini Penyebabnya

Tren
BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

Tren
Update Banjir Sumbar: Korban Meninggal 41 Orang, Akses Jalan Terputus

Update Banjir Sumbar: Korban Meninggal 41 Orang, Akses Jalan Terputus

Tren
Ini Penyebab Banjir Bandang Landa Sumatera Barat, 41 Orang Dilaporkan Meninggal

Ini Penyebab Banjir Bandang Landa Sumatera Barat, 41 Orang Dilaporkan Meninggal

Tren
Gara-gara Mengantuk, Pendaki Gunung Andong Terpeleset dan Masuk Jurang

Gara-gara Mengantuk, Pendaki Gunung Andong Terpeleset dan Masuk Jurang

Tren
Badai Matahari Mei 2024 Jadi yang Terkuat dalam 20 Tahun Terakhir, Apa Saja Dampaknya?

Badai Matahari Mei 2024 Jadi yang Terkuat dalam 20 Tahun Terakhir, Apa Saja Dampaknya?

Tren
5 Temuan Polisi soal Kondisi Bus yang Kecelakaan di Subang, Bekas AKDP hingga Rangka Berubah

5 Temuan Polisi soal Kondisi Bus yang Kecelakaan di Subang, Bekas AKDP hingga Rangka Berubah

Tren
Nilai Tes Online Rekrutmen BUMN Tiba-tiba Turun di Bawah Standar, Ini Kronologinya

Nilai Tes Online Rekrutmen BUMN Tiba-tiba Turun di Bawah Standar, Ini Kronologinya

Tren
Pakai Cobek dan Ulekan Batu Disebut Picu Batu Ginjal, Ini Faktanya

Pakai Cobek dan Ulekan Batu Disebut Picu Batu Ginjal, Ini Faktanya

Tren
7 Pilihan Ikan Tinggi Zat Besi, Hindari Kurang Darah pada Remaja Putri

7 Pilihan Ikan Tinggi Zat Besi, Hindari Kurang Darah pada Remaja Putri

Tren
Pendaftaran CPNS 2024: Link SSCASN, Jadwal, dan Formasinya

Pendaftaran CPNS 2024: Link SSCASN, Jadwal, dan Formasinya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com