Dikutip dari Kompas.com, Selasa (15/8/2023), kericuhan bermula saat warga Dago Elos membuat laporan dugaan pemalsuan data dan penipuan tanah ke Polrestabes Bandung pada Senin pukul 11.45 WIB.
Namun, hingga pukul 19.30 WIB, polisi disebut hanya membuat berita acara wawancara (BAW) bukan berita acara pemeriksaan (BAP). Polisi disebut beralasan karena bukti yang dibawa tidak cukup.
Kecewa dengan polisi
Kecewa mengetahui hal tersebut, warga pun memblokade jalan serta membakar ban dan kayu di jalan utama Dago sekitar pukul 20.30 WIB.
Mereka juga berorasi dan membentangkan spanduk tentang sengketa tanah. Di tengah-tengah aksi protes tersebut, terdapat tembakan gas air mata.
Warga membalas dengan melemparkan batu. Polisi juga berupaya membubarkan massa dengan menyemprotkan air lewat kendaraan water canon. Situasi baru berhasil terkendali di tengah malam.
Lantas, apa sebenarnya yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan antara warga Dago Elos dan polisi?
Sengketa lahan
Kepala Divisi Riset dan Kampanye Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono mengungkapkan kerusuhan di Dago Elos terjadi diawali oleh sengketa lahan antara warga dengan keluarga Muller.
"Warga tiba-tiba digugat atas klaim (tanah) oleh keluarga Muller," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (15/8/2023).
Keluarga Muller menggugat warga Dago Elos ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 2016 dan gugatan tersebut dimenangkan Muller bersaudara.
Warga Dago Elos kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada 2017. Saat itulah, mereka meminta bantuan LBH Bandung. Lambat laun, tim advokasi atas kasus ini bertambah sehingga dibentuklah Tim Advokasi Dago Elos untuk membantu warga.
Keluarga Muller mengaku keturunan dari George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda.
Kemudian, keluarga Muller atas nama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller menggugat warga Dago Elos. Ketiganya mengklaim tanah seluas 6,3 hektar di Dago Elos merupakan warisan dari George Hendrik Muller kepada mereka.
Klaim tersebut dinyatakan berdasarkan surat Eigendom Verponding atau hak milik dalam produk hukum pertanahan era kolonial Belanda. Sertifikat itu dikeluarkan Kerajaan Belanda pada 1934.
Tanah seluas 6,3 ha terbagi dalam tiga Verponding, yakni nomor 3740 untuk tanah seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 tanah seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 tanah seluas 44.780 meter persegi.
Dulu, di tanah itu berdiri Pabrik NV Cement Tegel Fabriek dan Materialen Handel Simoengan atau PT Tegel Semen Handeel Simoengan, tambang pasir, serta kebun-kebun kecil.
Dalam perkembangannya, tanah di zaman kolonial dapat dinasionalisasi menjadi milik pribadi sesuai Undang-Undang Pokok Agraria yang terbit pada 1960. Namun keluarga Muller tidak pernah mencatatkan hak milik atas tanah tersebut atau menempatinya. Disebut, batas konversi lahan ini paling lambat 24 September 1980.
Menurut tim advokasi, tanah Verponding yang tidak dinasionalisasikan seharusnya menjadi milik negara. Ini sesuai dengan UUPA dan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979.
Saat ini, tanah di Dago Elos menjadi tempat tinggal warga RT 01 dan 02 dari RW 02 Dago Elos, kantor pos, serta Terminal Dago.
"Warga harusnya memiliki kuasa penuh, hak milik karena telah tinggal di situ sejak lama, bahkan ada yang sampai 40 tahun," ujar Heri.
Ia mengungkapkan bahwa memang masih terdapat sebagian besar warga yang tidak memiliki surat tanah di Dago Elos. Namun, tetap ada sebagian warga yang memiliki surat tanah.
Saat persidangan di PN Bandung, pengadilan mengabulkan gugatan keluarga Muller. Lalu, warga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Upaya banding ditolak sehingga harus naik ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Untuk melakukan gugatan, keluarga Muller menggunakan surat Eigendom Verponding sebagai alat bukti. Padahal, mereka juga diduga belum memiliki surat kepemilikan tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bandung.
Menurut Heri, MA mengabulkan permohonan warga. Selama digugat, ia juga mengungkapkan tidak ada dialog yang terjadi antara warga Dago Elos dan keluarga Muller. Warga bahkan tidak mengenal Muller bersaudara yang menggugat mereka.
"Warga belum tahu keluarga Muller yang mana. Warga di Dago Elos tidak ada yang tahu siapa itu Muller, tahu-tahu digugat. Ini aneh juga kenapa ada orang yang tidak menguasai secara fisik tiba-tiba mengakui," ujarnya.
Setelah putusan kasasi keluar, warga Dago Elos mengajukan permohonan sertifikasi pendaftaran tanah ke Kantor Agraria dan Pertanahan (ATR/BPN) Kota Bandung sejak 21 Januari 2021. Namun, belum ada tanggapan dari BPN Bandung.
Belakangan diketahui, MA lalu mengeluarkan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 109/PK/Pdt/2022. Putusan ini mengabulkan gugatan pihak keluarga Muller sebagai pemilik tanah. Selain itu, putusan ini juga membolehkan keluarga Muller menyerahkan tanah ke PT Dago Inti Graha.
Heri menyebut, BPN Bandung bersikap pasif terhadap permohonan sertifikasi tanah milik warga. Menurutnya, permohonan tidak segera diproses karena BPN beralasan ikut putusan PK oleh MA.
"Padahal, sebelum PK, (warga Dago Elos) sudah mengajukan (permohonan sertifikasi tanah), ujar dia.
Warga duga penipuan dan berakhir bentrok
Terkait keputusan PK tersebut, warga Dago Elos bermaksud mendatangi Polrestabes Bandung pada Senin (14/8/2023). Mereka ingin mengadukan dugaan tindakan penipuan yang dilakukan keluarga Muller.
Menurut Heri, warga membuat laporan karena menduga keluarga Muller berbohong dalam pembuatan surat Pernyataan Ahli Waris (PAW) di Pengadilan Agama Cimahi pada 2014.
PAW tersebut menyatakan bahwa tiga bersaudara Muller sebagai cicit Georgius Hendrikus Wilhelmus Muller. Orang itu disebut merupakan kerabat dari Ratu Wilhelmina Belanda yang ditugaskan di Indonesia.
"Tim advokasi dan warga melakukan penelusuran. (Hasilnya) ditemukan bukan kerabat dan tidak ditugaskan oleh ratu Belanda juga," ungkap dia.
Karena itu, pihaknya menyebut keluarga Muller membuat tindakan pencatatan yang tidak sesuai fakta otentik di PAW. Padahal, PAW dipakai untuk alat bukti pengadilan
Georgius Hendrikus Wilhelmus Muller disebut hanya seorang penyewa lahan yang bertugas sebagai tenaga administratur di perkebunan Sindangwangi di wilayah Preanger.
Atas dugaan penipuan tersebut, perwakilan warga Dago Elos melapor ke Polrestabes Bandung. Sayangnya, laporan justru berakhir dengan kerusuhan.
Heri memastikan, Tim Advokasi Dago Elos akan terus melaporkan dugaan penipuan tersebut sesuai persetujuan warga selaku pemberi kuasa.
"(Kami) menyoroti tindakan brutalitas (polisi) dan akan menghubungi Komnas HAM dan lembaga terkait (atas kerusuhan di Dago Elos," jelasnya.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/08/15/190000865/kerusuhan-dago-elos-bandung-lbh-bandung--dipicu-sengketa-lahan-