Dengan ketinggian 3.776 mdpl, Fuji menjadi puncak tertinggi di Jepang yang dikunjungi setidaknya 200.000 setiap tahun.
Selain sebagai tempat wisata, Gunung Fuji juga dikenal sebagai lokasi sakral dan bernuansa keagamaan. Ini karena berdiri Kuil Okumiya di puncaknya.
Meski merupakan tempat terkenal bagi publik, Gunung Fuji ternyata bukan tempat wisata umum yang seluruhnya dimiliki pemerintah.
Puncak Gunung Fuji tanah pribadi
Dilansir dari Japan Up Close, tujuh tingkat Gunung Fuji atau tepatnya hingga ketinggian 3.360 mdpl merupakan milik pemerintah Jepang.
Namun, dari tingkat kedelapan hingga puncak atau 3.360-3.776 mdpl merupakan tanah pribadi milik kuil agama Shinto, Fujisan Hongu Sengen Taisha.
Kuil ini memiliki lebih dari 1.300 bangunan di Negeri Sakura tersebut.
Kepemilikan sempat menjadi konflik di zaman Meiji. Pemerintah Meiji ingin mengambil alih dan menasionalisasi gunung tersebut pada 1871 sebagai bagian dari perlindungan warisan negara.
Namun, Tokyo Weekender menyebutkan, Kuil Fujisan Hongu Sengen Taisha memperjuangkan puncak wilayah tersebut ke pengadilan hingga sah mendapatkan kembali kepemilikan terhadap puncak Fuji pada 2004.
Menurut situs resmi pihak kuil, tanah Gunung Fuji terabaikan pada masa kekuasaan kaisar ketujuh Kohrei (290-215 SM) setelah gunung itu meletus.
Kaisar kesebelas, Suijin (97–30 SM) baru bisa mengabadikan dewa agama Shinto, Asama no ohkami di kaki gunung. Barulah pada masa pemerintahan kaisar kedua belas Keikoh (71–130 M) dewa diabadikan di gunung tersebut.
Kaisar kelima puluh satu, Heizei (806-809) memerintahkan pembangun kuil agung baru di puncak Gunung Fuji yang sekarang menjadi Kuil Ohmiya. Sejak saat itu, kuil tersebut menjadi semakin luas dan kaya.
Pada 1604, untuk memperingati penaklukan Jepang dan pengangkatannya sebagai shogun atau jenderal oleh kaisar, Tokugawa Ieyasu membangun kuil baru yang lebih luas di wilyah tersebut.
Dilansir dari Japan Today, pada 1606, Tokugawa menyumbangkan area tersebut ke pihak Kuil Fujisan Hongu Sengen Taisha.
Kuil itu terus berfungsi pada zaman Edo hingga 1868. Namun, Kaisar Meiji kemudian mengambil alih kekuasaan Jepang.
Pada 1871, pemerintah Meiji menguasai banyak tanah di seluruh negeri, termasuk kuil di Gunung Fuji. Mereka berniat mengubah kuil menjadi milik publik.
Kuil Sengen Taisha membawa kasus ini ke pengadilan. Pihak kuil bersikeras bahwa tanah tersebut adalah tempat spiritual yang penting bagi mereka. Akhirnya, puncak Fuji diakui sah sebagai milik kuil pada 1974.
Namun, tanah tersebut baru secara resmi dikembalikan pada 2004.
Meski telah mendapatkan hak atas puncak Gunung Fuji, Kuil Sengen Taisha belum bisa mendaftarkan diri sebagai pemilik lahan tersebut.
Gunung Fuji terletak di perbatasan antara Prefektur Shizuoka dan Yamanashi. Karena tanahnya tidak rata, batas antara kedua wilayah tersebut menjadi tidak terlihat.
Ketiadaan batas membuat Gunung Fuji tidak jelas berada di Yamanashi dan Shizuoka. Akibatnya, pihak kuil tidak mungkin mendaftarkan kepemilikan atas tanah itu ke salah satu prefektur.
Meski begitu, area puncak Gunung Fuji tetap menjadi milik Kuil Fujisan Hongu Sengen Taisha. Walaupun tanah privat, publik tetap dapat mendaki ke puncak Gunung Fuji bahkan masuk ke kuil di sana.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/05/22/063000565/siapa-pemilik-puncak-gunung-fuji-ternyata-bukan-tempat-wisata-milik-publik