Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tersangka Ditahan tetapi Bebas Tanpa Pengadilan, Kok Bisa?

Hal itu memunculkan dua kekhawatiran, yaitu soal efek jera dan kongkalikong alias suap hingga pemerasan di lingkup penegakan hukum. Meski di sisi lain ada hal positif, yaitu soal keluhuran keadilan yang tercermin dari sini.

Saya menyaksikan sendiri, bahkan saya ikut menjemput dan ikut bersama jaksa yang membebaskan seorang tersangka pencuri yang sudah diproses polisi hingga kejaksaan dan siap dilimpahkan ke pengadilan alias sudah P-21 kasusnya. Tersangka dalam posisi ditahan di Polsek Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Saya lihat dan ikut menemani pembebasan tersangka

Kasusnya bermula dari sebuah pencurian di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat. Kala itu, Jimi Tamaka, mencuri telepon seluler yang baru dibeli dari seorang ibu. Tersangka mendapatkan telepon beserta kardusnya dan perangkat lainnya.

Sesaat setelah dia mencuri tanpa perlawanan dari korban, si korban berteriak dan menyebut tersangka sebagai maling! Sempat dihakimi massa, Jimi tersungkur dengan motornya dan diamankan petugas keamanan hingga dibawa ke Polsek Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Dua bulan mendekam di tahanan polsek, Jimi melalui proses penyidikan di polisi dan penuntutan di kejaksaan.

Menunggak kontrakan tiga bulan & menanggung balita dan tiga anak

Jimi bercerita kepada saya dia adalah ayah tiga anak. Anaknya yang terkecil masih berusia dua tahun. Jimi bekerja sebagai tenaga pemasar alias salesperson di sebuah produk kecap, dengan upah 1,5 juta per bulan, meski sudah tiga bulan ia tidak menerima upah. Sementara kontrakannya di tepi sungai di Tambun Utara, Kota Bekasi, belum dibayar tiga bulan.

Pilihannya kala itu ia harus membayar 1,8 juta atas tunggakan tiga bulan kontrakan (per bulan Rp 600 ribu), atau anak-anak dan istrinya tak lagi punya tempat tinggal. Gelap mata ia mencuri, hingga akhirnya dibui.

Lalu ia mengajukan proses restorative justice (RJ) alias keadilan restoratif. Prosesnya akhirnya disetujui pihak penuntut, dalam hal ini ditangani oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Proses ini diteruskan dan akhirnya diputuskan pusat, Kejaksaan Agung.

Saya ikuti "sidang" di kejaksaan

Saya mengikuti proses "sidang" keputusan oleh Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Saya melihat bagaimana pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan diajukan, selain syarat keadilan restoratif itu sendiri, yakni baru pertama kali melakukan tindak pidana, hukuman tak lebih dari lima tahun, kerugian maksimal 2,5 juta rupiah, dan yang terpenting dimaafkan oleh korban.

Setelah diputuskan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Jumhana, belenggu borgol dan rompi tahanan kejaksaan pada Jimi pun akhirnya dilepas. Saya melihat suasana begitu haru, dengan didampingi istri dan anak balitanya. Termasuk korban pencurian HP juga hadir dalam sidang itu.

Tayangan lengkapnya di program AIMAN yang tayang setiap Senin pukul 20.30 WIB malam di KompasTV.

Satu tersangka yang siap jadi terdakwa urung dilakukan proses sidang. Sedianya Jimi terkena pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.

Bagaimana dengan efek jera & lahan baru korupsi?

Ada kekhawatiran, seperti yang diungkapkan pada survei Litbang Kompas pada awal tahun 2022 ini, terkait dengan proses seperti dalam kasus Jimi di atas. Ada 76 persen responden mengaku khawatir akan pelaksanaan keadilan restoratif yang bisa membebaskan tersangka kasus pidana.

Ini sejalan dengan apa yang disampaikan pakar hukum pidana, Profesor Hibnu Nugroho pada program AIMAN.

"Ini yang kita khawatirkan. Karena jangan sampai di Indonesia itu, bagi yang punya uang (bisa) pasang badan, selesai."

"Nah, di sinilah makanya Jaksa Agung harus betul-betul responsif tentang permasalahan hukum di sini. Niatnya seperti apa? Korbannya seperti apa? Apakah meresahkan masyarakat, atau tidak? Jadi betul-betul, di samping para pihak itu ada selesai kedamaian, tapi masyarakat juga mendapatkan suatu ketenangan," tambah Hibnu.

Sebagai informasi, sudah lebih dari 1000 tersangka yang dibebaskan melalui proses keadilan restoratif oleh Kejaksaan Agung ini sejak sekitar satu tahun terakhir. Ada sisi positif yang bisa dilihat yakni efek samping dari pengurangan jumlah tahanan di lembaga kemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) yang memang sudah over capacity alias kelebihan penghuni. Selain juga menunjukkan sisi humanis penegakkan hukum di Indonesia dengan mengedepankan hati nurani.

Meski di sisi lain, muncul pula kekhawatiran akan efek jera dan lahan baru bancakan oknum penegak hukum yang bermain mata dengan calon penerima proses keadilan restoratif

Jaksa Agung: jaksa salah gunakan, saya pecat!

Soal kemungkinan kasus korupsi di lingkup Kejaksaan Agung, Jaksa Agung, ST Burhanuddin, yang saya wawancara terkait hal ini memberikan jawaban.

"Apabila (jaksa) betul menyalahgunakan RJ (restorative justice), saya akan tindak lebih tegas. Bila perlu saya pecat!" kata ST Burhanuddin.

Bagaimanapun, saya melihat ada nilai keluhuran keadilan dari proses keadilan restoratif ini. Hanya proses ini sekali lagi seperti pisau bermata dua. Karena itu mutlak ada pengawasan yang terus dilakukan agar tak jadi lahan baru bancakan.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/27/082737865/tersangka-ditahan-tetapi-bebas-tanpa-pengadilan-kok-bisa

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke