Menurut laporan Comittee to Protect Journalists (CPJ) ada 293 wartawan yang dipenjara sepanjang 2021 di seluruh dunia. Jumlah tersebut naik dari total revisi 280 pada tahun 2020.
Selain itu, 24 jurnalis tewas karena liputan mereka sepanjang tahun ini; 18 lainnya tewas dalam keadaan yang terlalu suram untuk menentukan apakah mereka adalah target spesifik.
China terbanyak
China menempati posisi pertama selama tiga tahun berturut-turut sebagai negara yang paling banyak memenjarakan jurnalis, dengan 50 wartawan mendekam di balik jeruji besi.
Myanmar melonjak ke posisi kedua setelah tindakan keras kepada media, menyusul kudeta militer 1 Februari. Mesir, Vietnam, dan Belarus, masing-masing, melengkapi lima besar.
19 wartawan dibunuh sepanjang 2021
CPJ mencatat 19 jurnalis dibunuh karena liputan mereka per 1 Desember 2021.
Tiga jurnalis tewas tahun ini saat meliput dari zona konflik, dan dua lainnya tewas saat meliput protes atau bentrokan jalanan yang berubah menjadi mematikan.
Meksiko tetap menjadi negara paling mematikan di belahan bumi Barat bagi wartawan.
Tiga jurnalis dibunuh karena pemberitaan mereka, dan CPJ sedang menyelidiki enam pembunuhan lainnya untuk menentukan apakah hal itu terkait tugas jurnalistik.
Di India, tercatat empat orang jurnalis dibunuh karena liputan mereka. Sebagian terbunuh saat meliput aksi protes.
Direktur Editorial CPJ Arlene Getz, mengatakan, alasan meningkatnya jumlah jurnalis yang ditahan berbeda antar negara.
Namun menurut Getz, semuanya mencerminkan tren yang mencolok, yaitu tumbuhnya intoleransi terhadap pelaporan independen.
"Para pemimpin otoriter semakin berani mengabaikan proses hukum dan melanggar norma-norma internasional untuk mempertahankan kekuasaannya," kata Getz.
"Di dunia yang disibukkan dengan Covid-19 dan prioritas terhadap isu-isu seperti perubahan iklim, pemerintah yang represif jelas menyadari bahwa kemarahan publik terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sudah tumpul dan pemerintah negara demokratis kurang berminat menjatuhkan sanksi politik atau ekonomi," ujar dia.
Melansir New York Times, Kamis (9/12/2021) Direktur Eksekutif CPJ Joel Simon mengatakan, meningkatnya jumlah jurnalis yang dipenjara ini menunjukkan keengganan di antara pemerintah otoriter untuk merilis informasi yang mereka anggap sebagai ancaman.
“Angka tersebut mencerminkan dua tantangan yang tidak dapat dipisahkan – pemerintah bertekad untuk mengontrol dan mengelola informasi, dan mereka semakin berani dalam upaya mereka untuk melakukannya,” kata Simon.
“Memenjarakan jurnalis karena melaporkan berita adalah ciri rezim otoriter,” ujar dia.
Penghargaan Nobel Perdamaian 2021 diberikan kepada dua jurnalis asal Filipina dan Rusia, Maria Ressa dan Dmitry Muratov.
Melansir The Guardian, Jumat (10/12/2021) Ressa dan Muratov menjadi jurnalis pertama yang memenangi penghargaan ini setelah terakhir tahun 1935.
Ressa (58) kepala eksekutif dan salah satu pendiri platform berita online Rappler, dipuji karena mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan meningkatnya otoritarianisme di bawah kepemimpinan Presiden Filipina saat ini, Rodrigo Duterte.
Sementara, Muratov (59) merupakan pemimpin redaksi Novaya Gazeta, surat kabar oposisi terkemuka di Rusia dan digambarkan sebagai salah satu pembela kebebasan berbicara yang paling menonjol di Rusia saat ini.
Kiprah keduanya dalam melaksanakan tugas jurnalistik kerap mendapatkan sandungan dari pemerintah setempat, terutama Ressa yang saat ini menghadapi menghadapi dakwaan yang membuatnya terancam sekitar 100 tahun penjara.
Ressa dan Muratov adalah dua dari sekian banyak jurnalis di dunia yang harus berhadapan dengan hukum dalam menjalankan tugas-tugasnya.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/12/170000465/293-wartawan-dipenjara-sepanjang-tahun-2021-terbanyak-di-china