Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perubahan Tata Kota, Izin Lahan, dan Maraknya Banjir di Indonesia...

KOMPAS.com - Sejumlah wilayah di Indonesia dilanda banjir selama beberapa hari terakhir.

Selain banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang cukup parah, banjir dan tanah longsor juga menerjang kawasan puncak Bogor, Jawa Barat, Kabupaten Pekalongan di Jawa Tengah, Kota Malang di Jawa Timur dan sejumlah daerah lainnya.

Banjir di sejumlah wilayah Indonesia tersebut disebutkan terjadi karena intensitas hujan yang cukup tinggi dan cuaca yang ekstrem.

Kendati demikian, dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya (Unibraw) Kartika Eka Sari menjelaskan mengenai pengaruh tata kota terhadap banjir di suatu wilayah.

Drainase adalah solusi kuno

Salah satu tata kota yang berpengaruh terhadap banjir ialah rekayasa teknis infrastruktur perkotaan dan drainase, tetapi Kartika berpendapat bahwa solusi ini sudah kuno.

Setiap tahun selalu ada banjir di kota-kota tertentu. Titik dan ketinggiannya pun semakin bertambah, maka solusinya perlu diperbarui.

"Mindset orang zaman dulu menyelesaikan banjir itu mengalirkan air di saluran, dengan aman sampai ke sungai. Ini harus diganti. Air itu jangan dialirkan saja tapi diresapkan, jadi tidak diberi kesempatan untuk mengalir di atas tanah," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (19/1/2021).

Tata kota yang buruk tidak hanya menyebabkan maraknya banjir, tetapi juga menimbulkan dampak jangka panjang, yaitu perubahan iklim.

"Jangka panjangnya, tata kota yang jelek itu ke perubahan iklim," terang Kartika.

Kartika memberi contoh mengenai sistem transportasi yang buruk pada suatu kota, sehingga menimbulkan kemacetan. Emisi kendaraan akan mempengaruhi udara.

"Itu yang jadi akar perubahan iklim. Termasuk juga pengelolaan air bersih," katanya.

Bila air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah, maka juga berimbas pada pasokan air bersih dan sanitasi.

"Kondisi pandemi begini butuh air bersih yang banyak. Orang cuci tangan juga butuh saluran buangan air yang mencukupi juga. Tidak cuma dibuang begitu saja karena ada detergennya," tambah Kartika.

Membuat resapan air

UU Penataan Ruang mengatur jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 20 persen dari luas wilayah kota yang tersedia di masing-masing daerah.

RTH terbagi ke dalam dua jenis, yaitu ruang terbuka publik dan privat. Kartika menyarankan masyarakat untuk membuat RTH privat.

"Elemen kota enggak cuma fisik, seperti jalan, infrastruktur, atau saluran drainase. Komunitas, warga itu kan elemen kota juga," katanya.

Kartika juga menyarankan masyarakat untuk membuat taman dan biopori.

Biopori ialah teknologi alternatif dan sederhana untuk penyerapan air hujan. Dapat dibuat dengan luas lahan hanya 20 sentimeter.

Sementara itu, Koordinator Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Edo Rakhman menyatakan bahwa taman atau resapan air yang dibangun masyarakat wilayahnya terlalu kecil.

"Skup-nya kecil sekali kalau menurutku. Betul itu penting, tetapi kita kan harus melihat lebih luas bahwa penyebab banjir itu bukan hanya terjadi di satu tempat tetapi lintas tempat," kata Edo dihubungi terpisah.

Ia menyinggung mengenai industri ekstraktif yang ada di wilayah-wilayah penyangga yang menjadi resapan air.

Pemerintahlah yang memiliki kuasa untuk memberi izin pada industri ekstraktif di wilayah yang seharusnya dilindungi.

"Sampai saat ini masih memfasilitasi industri ekstraktif yang ada di wilayah-wilayah penyangga yang seharusnya dilindungi, dihindari dari intervensi bisnis, tapi malah kemudian (izin) itu diberikan," tambahnya.

Bencana lintas wilayah

Kartika menjelaskan bahwa banjir di suatu wilayah dapat dipicu oleh kondisi wilayah lainnya.

"Banjir itu tidak kenal wilayah administrasi, bisa saja banjir di kota itu datangnya dari kabupaten. Jadi kalau ada banjir harus bertanya, daerah atas ada masalah apa kok airnya gak meresap?" kata Kartika.

Sependapat dengan Kartika, Edo juga membenarkan bahwa ada pengaruh kondisi dari wilayah penyangga di sekitar lokasi banjir.

"Kalau wilayah penyangganya diotak-atik, tidak dilindungi, terus dirusak ya seberapa banyak masyarakat dapat membuat taman dan ruang terbuka hijau. Kalau wilayah penyangganya tidak diselamatkan ya tetap saja ada banjir begitu," tutur Edo.

Edo berharap pemerintah berhenti menyalahkan curah hujan, mengevaluasi izin lahan, dan mulai memikirkan solusi jangka panjang.

Ia juga ingin ada tindakan hukum yang tegas untuk perusahaan perusak lingkungan ilegal.

"Dan paling penting adalah penegakan hukum saya kita, karena tidak sedikit perkebunan ilegal, tambang ilegal yang turut menyumbang kerusakan," tambahnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/20/083000065/perubahan-tata-kota-izin-lahan-dan-maraknya-banjir-di-indonesia-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke